Anak adalah anugerah sekaligus amanah yang harus dijaga dan dididik sebaik mungkin, agar mereka
tumbuh sebagai anak-anak hebat sesuai yang kita harapkan. Ibarat menanam, maka memelihara tanaman dari
hama, penyakit dan memberikannya pupuk yang tepat adalah cara yang harus kita tempuh agar
pada saatnya kitapun dapat menuai hasil terbaik.
Pada ananda masa keemasan mereka diusia kanak-kanak amatlah berharga untuk tumbuh kembang yang
optimal. Maka sebaiknya sebagai orangtua kita harus pandai memanfaatkan masa
tersebut untuk menanamkan nilai kebaikan tersebut tak hanya sebatas kata tapi juga
contoh yang nyata. Namun semuanya memang butuh proses dan kerja keras, tak segampang membalikkan telapak tangan. Mudah tampaknya, tapi prakteknya
butuh perjuangan, perlu sabar yang tak bertepi. Anak-anak adalah sosok mereka
sendiri bukan sosok kita dalam bentuk mini. Seringkali karena lupa atau
kebablasan anak-anak kita pola untuk menjadi seperti kita diwaktu kecil dulu. Padahal
mereka tentu tak suka dibandingkan dan zamannya juga tentu sudah jauh berbeda.
Untuk itu
orangtuapun butuh ilmu. Bukan sebatas menurunkan tradisi pengasuhan yang dulu
mereka dapat. Dunia anak memang penuh warna, mereka terus berkelana dan
mengeksplorasi apa saja yang mereka ingin ketahui. Rasa ingin tahu mereka yang
besar belum dibarengi dengan kemampuan mereka menganalisa baik dan buruk.
Bahkan benar atau salah
merekapun belum faham, amankah dari bahaya mereka
seringkali tak mengerti. Tugas orangtualah yang membantu mereka untuk melewati
masa-masa ini.
Saat mereka memanjat, atau main pisau tak hanya
sebatas kata ‘jangan’ yang mereka butuhkan. Sulungku termasuk yang suka sekali
memanjat, dibanding dengan anak seusianya, Yunda memang termasuk yang tak takut
akan ketinggian. Awalnya sulit bagiku menahan kata ‘jangan manjat-manjat Nak’
tapi setelah membaca buku-buku parenting
aku menyadari kata sakti ‘jangan’ tak akan banyak gunanya. Lebih dari itu sejak dulu aku
sadari betul bahwa kata-kata adalah do’a, maka aku tak akan berkata “jangan
manjat Nak, nanti jatuh” yang artinya sama saja tampa kusadari ada do’a untuk ananda “nanti
jatuh” selain itu dengan kata-kata ‘jangan manjat’ bisa membuat ananda menjadi
pengecut atau sebaliknya malah jadi penasaran ingin melakukannya tampa
sepengetahuan kita sebagai orangtua yang melarangnya. Menurut yang kupelajari kemudian sebaiknya kita hanya mewanti-wanti ananda untuk berhati-hati dan juga berpegangan yang kuat saat memanjat.
Salah satu penyebab utama aku sadar harus membungkam
kata ‘jangan’ adalah karena sulungku saat masih TK A diusia sekitar 4 tahunan
(sekarang ia sudah kelas 3 SD, Oktober nanti 9) berdasarkan cerita gurunya tak
mau mewarnai. Heran dong, kok bisa? Sementara anak seusianya sedang getol-getolnya
mewarnai. Sebenarnya di rumah Yunda masih mau mewarnai walau tak seheboh
adiknya. Awalnya aku fikir hanya masalah minat dan bakat. Tapi setelah kuselidiki ternyata Yunda tidak PD mewarnai karena dulu saat awal
Yunda mewarnai oleh Jidahnya (Mamaku=neneknya) pernah dikomentari. Kira-kira begini kata
beliau “Yunda, kalau mewarnai jangan keluar garis ya, harus yang rapi” Tak
sepenuhnya salah. Maksud Jidah supaya cucunya pandai mewarnai. Sayangnya kata ‘jangan’
terlanjur menjadi momok buat Yunda, hingga ia langsung merasa aku tak bisa
mewarnai dengan rapi sebab bila mewarnai aku selalu keluar garis. Anak umur 2
tahunan mana yang bila mewarnai bisa langsung rapi, hiiiihiii…
Pelajaran berharga buatku, ternyata
sangatlah tepat ungkapan Dorothy Law Nolte tentang Anak
belajar dari Kehidupan.
"Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar membenci
Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah
Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan rasa iri, ia belajar kedengkian
Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai
Jika anak dibesarkan dengan keadilan, ia belajar rasa aman
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri
Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan
Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan
Jika anak dibesarkan dengan ketentraman, ia belajar berdamai dengan pikiran
Jika anak dibesarkan dengan keramahan, ia meyakini sungguh indah dunia ini"
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar membenci
Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah
Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan rasa iri, ia belajar kedengkian
Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai
Jika anak dibesarkan dengan keadilan, ia belajar rasa aman
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri
Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan
Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan
Jika anak dibesarkan dengan ketentraman, ia belajar berdamai dengan pikiran
Jika anak dibesarkan dengan keramahan, ia meyakini sungguh indah dunia ini"
Syukurnya pada kasus Yunda, bisa kuatasi. Aku ingat saat itu secara intensif aku mengajak Yunda untuk
menikmati acara mewarnai di rumah. Sempat ada kabut dimataku menyaksikan ananda
yang memang tampak canggung mewarnai, ragu dan sangat tidak happy. Tapi selalu
berusaha kuyakinkan bahwa hasilnya bagus, padahal jujur saat itu aku seperti
mau menangis. Bayangkan hasilnya mewarnai sangat jauh dari rapi, kalah jauh
dari adiknya yang 20 bulan lebih muda darinya. Setangkai bunga saja, Yunda
membutuhkan waktu yang lama sekali untuk menyelesaikan pewarnaannya.
Yunda saat Mewarnai Bersama ^^ |
Satu pelajaran berharga buatku, yang terlanjur
bukan berarti tak bisa diperbaiki bukan? Walau Yundaku saat ini bukan pelukis
handal, tapi kepercayaan dirinya yang tinggi pada banyak hal itu yang
terpenting buatku. Ya, kita memang bukan orangtua malaikat yang tak pernah
berbuat salah, kita boleh saja sedih, kecewa atau bahkan marah sekalipun pada
ananda tapi bagaimana mengelola rasa tersebut menjadi satu yang tak membuat
trauma, menyakiti fisik terlebih hati mereka. Karena luka fisik bisa mudah
diobati tapi perkara hati yang luka tentu akan jauh berbeda.
Apapun
ternyata menanamkan nilai kebaikan pada ananda haruslah dengan penuh cinta
bukan dibawah kendali kata ‘jangan’, apalagi bila disertai paksaan, tekanan atau ancaman.
Agar nilai kebaikan tersebut benar-benar berkesan dan
membekas menjadi ukiran indah sampai mereka dewasa nanti. Dan saat itulah
mereka bisa membuktikan sungguhlah indah warna dunia tampa ‘jangan’ yang
diajarkan pada mereka. Selanjutnya merekapun siap mewariskan pada generasi
penerus kelak. Tentu saja harus dengan cinta dan ketauladanan agar hal tersebut menjadi gaya hidupnya. Percayakah?
Buktikan sendiri!
Tulisan ini di-share dalam rangka mengikuti “GA GOLDEN MOMENT WITH TOUR CHILD” yang diadakan oleh penerbit byPASS www.penerbitbypass.com.