Catatan Perjalanan.
Langit Madinah begitu biru siang itu. Tinggal dua hari lagi waktu yang tersisa bagi kami untuk berada disini, di Kota Nabi. Sungguh terasa singkat enam hari yang telah berlalu. Luar biasa menggembirakannya keadaan jama'ah kloterku selama di Madinah. Semua tenang, sehat dan merasa nyaman. Sampai-sampai mereka enggan pulang, maunya minta tambahan hari untuk lebih lama berada di Madinah. Ini yang selalu mereka katakan saat berjumpa denganku, baik ketika hendak berangkat atau sepulang dari sholat di Nabawi. Situasi ini sangat berpengaruh baik pada kami sebagai petugas, kami yang sejak awal bersepakat untuk mengutamakan tugas, tak mau memaksakan diri untuk menunaikan arba'in seolah mendapat peluang berlimpah untuk bisa menjalankan ibadah sunnah di masjid nabi. Banyak keadaan yang justru sangat mendukung. Hotel yang teramat dekat dengan Nabawi, jama'ah yang semuanya bahagia dan tak perlu pemantauan ekstra membuat kami bisa leluasa bolak-balik ke Nabawi kapan saja.
Bahkan untuk ke raudah, yang awalnya aku pesimis. Berharap bisa dua kali saja ke raudah selama delapan hari di Madinah adalah sebuah keberuntungan. Tak dinyana aku malah bisa dua kali dalam sehari ke raudah, walau tak setiap hari, sebab kadang kala hanya bisa sekali sehari. Biasanya bersama para jam'ah ibu-ibu aku berangkat sebelum subuh, menuju babbun nisa (pintu khusus wanita) meringsek ke shaff terdekat dengan pintu masuk (menuju) raudah. Pengalaman di hari pertama kedatangan, saat pertama kalinya diantar petugas maktab bersama rombongan se-kloter. Saat itu aku terkesima betapa berlikunya jalan menuju ke raudah. Dan karenanya ingin kuulangi lagi dan lagi. Alhamdulillah bisa kesampaian...
Jama'ah perempuan hanya punya tiga waktu untuk bisa masuk ke raudah, ba'da subuh sampai menjelang dzuhur, ini harus menunggu beberapa saat sebab biasanya baru menjelang jam tujuh pagi jama'ah perempuan boleh masuk raudah. Waktu yang lumayan panjang, aku suka sekali memanfaatkannya. Selanjutnya antara dzuhur-ashar. Waktu yang sangat sempit, aku bahkan belum mencobanya. Yang terakhir ba'da ishya sampai menjelang jam sebelas malam. Karena ada seorang petugas Indonesia yang mengajariku, makanya aku jadi tahu keunggulan masuk ke raudah di waktu ini. Caranya jangan datang sejak ba'da ishya, karena masih ramai dan antrianpun akan sangat lama. Tapi kata beliau datanglah diatas jam sepuluh malam, saat pintu raudah hampir ditutup, biasanya sepi dan kalau kita sudah masuk bisa lebih lama. Sebab kalau kita sudah di dalam, tak ada pengusiran lagi dijam-jam ini. Dan akupun sudah membuktikannya. Biasanya aku pergi bersama satu atau dua orang jama'ah perempuan yang memang ingin bisa ke raudah berulang kali, mumpung masih di Madinah.
Maka ketika secara mendadak aku tak bisa masuk Nabawi untuk sholat apalagi ke raudah di hari-hari terakhir, sungguh nestapa buatku. Aku sudah meminum pil penunda haid lebih dari sebulan, dan memang berhasil membuatku bisa mengikuti semua ritual wajib haji di Arafah-Musdhalifah-Mina juga di Mekkah, thawaf dan sa'i semuanya berjalan lancar. Keluhan mual, sakit sendi, pusing sebagai efek sampaing yang banyak dikeluhkan orang juga tak kualami. Alhamdulillah... Maka ketika dua hari terakhir pil itu tak ampuh lagi buatku, akupun merasa wajib untuk tetap membumbungkan syukur. Walau jujur aku sedih. Tinggal dua hari lagi, hikss... Tapi saat kusadari Allah sudah memberiku begitu banyak, bahkan lebih dari yang aku harapkan, maka aku tak boleh berkesah, rasa syukur itu tak boleh berkurang semikronpun.
Dan saat semua jama'ah berangkat untuk menunaikan sholat dzuhur yang ke tujuh di Nabawi, aku tak mau ketinggalan. Aku tetap bergegas, walau harus puas sampai di pelataran teras masjid saja. Jeda antara iqomah dan adzan yang mulai kuhafal, cukup panjang, aku masih berbaur dengan banyak jama'ah, karena memang banyak dari jama'ah yang tak muat lagi sholat di dalam masjid, bisa sholat di teras Nabawi sudah suatu kebahagiaan. Dan saat takbir dimulainya sholat dzuhur terlaksana, aku baru menyadari ternyata bukan aku saja yang tak sholat di sudut Nabawi siang itu. Ada beberapa perempuan/ibu dengan pakaian khas daerah atau negara masing-masing.
Aku menghampiri salah satu dari mereka, mencoba membuka percakapan dengan bahasa tarzan. Intinya aku menanyakan, apakah mereka juga sedang berhalangan sehingga tak ikut sholat berjama'ah? Dan tanpa kata, Ibu yang ternyata dari Pakistan tersebut membuka jubahnya. Mengeluarkan seorang bayi. Apa? Mataku terbelalak. Itu bayi merah. Artinya bayi itu lahir baru beberapa hari yang lalu? Dan si Ibu mengiyakan. Bayi itu di lahirkannya di sebuah RS yang ada di Mekkah seminggu setelah wukuf di Arafah, dan kini masuk dua minggu umurnya. Allahu Akbar!!! Aku tak bisa menguntai kata, karena memang aku juga tak tahu apa yang harus aku ucapkan dalam bahasa yang dimengertinya. English katanya dia tak faham, aku juga. Arab apalagi, makin jauh.
Akhirnya aku minta izin pinjam bayinya, aku timang, lalu minta difotokan. Dan selanjutnya sibuk berdialog dalam hati. Ooocchhh jama'ah haji Indonesia mana ada yang boleh berangkat kalau ketahuan hamil? Hamil muda saja, langsung di minta mundur. Apalagi hamil tua yang jelas-jelas terlihat. Sementara hamil sebenarnya bukan halangan dalam beribadah bukan? Takut merepotkan petugas medis? Kurasa tak beralasan, ada banyak ibu hamil justru kuat dan tak banyak keluhan, mereka sehat dan sangat termotivasi dalam beribadah. Lalu? Acch, kalaulah diperkenankan, aku iri pada ibu Pakistan ini, yang bisa melahirkan di Mekkah, setelah menunaikan rukun islam kelimanya. Tapi kita tak boleh iri kan yaaa... Semoga kebijakan haji Indonesia bagi jama'ah perempuan kelak akan berubah, dan wanita hamil boleh naik haji asal sehat dan kuat.
Bahkan untuk ke raudah, yang awalnya aku pesimis. Berharap bisa dua kali saja ke raudah selama delapan hari di Madinah adalah sebuah keberuntungan. Tak dinyana aku malah bisa dua kali dalam sehari ke raudah, walau tak setiap hari, sebab kadang kala hanya bisa sekali sehari. Biasanya bersama para jam'ah ibu-ibu aku berangkat sebelum subuh, menuju babbun nisa (pintu khusus wanita) meringsek ke shaff terdekat dengan pintu masuk (menuju) raudah. Pengalaman di hari pertama kedatangan, saat pertama kalinya diantar petugas maktab bersama rombongan se-kloter. Saat itu aku terkesima betapa berlikunya jalan menuju ke raudah. Dan karenanya ingin kuulangi lagi dan lagi. Alhamdulillah bisa kesampaian...
Jama'ah perempuan hanya punya tiga waktu untuk bisa masuk ke raudah, ba'da subuh sampai menjelang dzuhur, ini harus menunggu beberapa saat sebab biasanya baru menjelang jam tujuh pagi jama'ah perempuan boleh masuk raudah. Waktu yang lumayan panjang, aku suka sekali memanfaatkannya. Selanjutnya antara dzuhur-ashar. Waktu yang sangat sempit, aku bahkan belum mencobanya. Yang terakhir ba'da ishya sampai menjelang jam sebelas malam. Karena ada seorang petugas Indonesia yang mengajariku, makanya aku jadi tahu keunggulan masuk ke raudah di waktu ini. Caranya jangan datang sejak ba'da ishya, karena masih ramai dan antrianpun akan sangat lama. Tapi kata beliau datanglah diatas jam sepuluh malam, saat pintu raudah hampir ditutup, biasanya sepi dan kalau kita sudah masuk bisa lebih lama. Sebab kalau kita sudah di dalam, tak ada pengusiran lagi dijam-jam ini. Dan akupun sudah membuktikannya. Biasanya aku pergi bersama satu atau dua orang jama'ah perempuan yang memang ingin bisa ke raudah berulang kali, mumpung masih di Madinah.
Maka ketika secara mendadak aku tak bisa masuk Nabawi untuk sholat apalagi ke raudah di hari-hari terakhir, sungguh nestapa buatku. Aku sudah meminum pil penunda haid lebih dari sebulan, dan memang berhasil membuatku bisa mengikuti semua ritual wajib haji di Arafah-Musdhalifah-Mina juga di Mekkah, thawaf dan sa'i semuanya berjalan lancar. Keluhan mual, sakit sendi, pusing sebagai efek sampaing yang banyak dikeluhkan orang juga tak kualami. Alhamdulillah... Maka ketika dua hari terakhir pil itu tak ampuh lagi buatku, akupun merasa wajib untuk tetap membumbungkan syukur. Walau jujur aku sedih. Tinggal dua hari lagi, hikss... Tapi saat kusadari Allah sudah memberiku begitu banyak, bahkan lebih dari yang aku harapkan, maka aku tak boleh berkesah, rasa syukur itu tak boleh berkurang semikronpun.
Dan saat semua jama'ah berangkat untuk menunaikan sholat dzuhur yang ke tujuh di Nabawi, aku tak mau ketinggalan. Aku tetap bergegas, walau harus puas sampai di pelataran teras masjid saja. Jeda antara iqomah dan adzan yang mulai kuhafal, cukup panjang, aku masih berbaur dengan banyak jama'ah, karena memang banyak dari jama'ah yang tak muat lagi sholat di dalam masjid, bisa sholat di teras Nabawi sudah suatu kebahagiaan. Dan saat takbir dimulainya sholat dzuhur terlaksana, aku baru menyadari ternyata bukan aku saja yang tak sholat di sudut Nabawi siang itu. Ada beberapa perempuan/ibu dengan pakaian khas daerah atau negara masing-masing.
Aku menghampiri salah satu dari mereka, mencoba membuka percakapan dengan bahasa tarzan. Intinya aku menanyakan, apakah mereka juga sedang berhalangan sehingga tak ikut sholat berjama'ah? Dan tanpa kata, Ibu yang ternyata dari Pakistan tersebut membuka jubahnya. Mengeluarkan seorang bayi. Apa? Mataku terbelalak. Itu bayi merah. Artinya bayi itu lahir baru beberapa hari yang lalu? Dan si Ibu mengiyakan. Bayi itu di lahirkannya di sebuah RS yang ada di Mekkah seminggu setelah wukuf di Arafah, dan kini masuk dua minggu umurnya. Allahu Akbar!!! Aku tak bisa menguntai kata, karena memang aku juga tak tahu apa yang harus aku ucapkan dalam bahasa yang dimengertinya. English katanya dia tak faham, aku juga. Arab apalagi, makin jauh.
Bayi Pakistan dalam dekapan :D |