Setahuku angka
10 sering diidentikkan dengan sebuah nilai yang mewakili kesempurnaan. Maka tak mengherankan kalau angka 9 dianggap yang paling mendekati sebuah
kesempurnaan itu. Adakah menjadi berbeda dari tahun-tahun sebelumnya? Mungkin
ada, tapi ada banyak juga yang tak merasa, katanya berbeda tapi tak nyata.
Kalaulah
mengarungi bahtera rumah tangga disamakan sebagai sebuah pelayaran maka 9 tahun
bersama, seharusnya sudah cukup buatku untuk memahami siapa yang menjadi nahkoda pelayaran
ini. Seseorang yang kupercaya memimpinku mengisi sisa usia dibawah
kendalinya. Seorang yang menjadi imamku sejak 07 Juli 2002, saat aku belum lagi
tamat kuliah dan tampa sebuah proses yang bernama pacaran.
Ibarat
berlayar, kapal ini mulai memasuki tengah lautan, sesekali ombaknya terasa menghantam
keras. Ombak pantai tentu berbeda dengan ombat tengah laut. Namun buat kami, kapal ini harus
terus berlayar, dengan juang yang tentu berbeda. Jujur, aku justru begitu menikmatinya.
Dari
sekian banyak cerita disepanjang 9 tahun lebih ini, ada 5 hal mendasar yang
akan kubagi kali ini, tentang serabi alias serba serbi dalam pelayaran kami. Berbagi pengalaman, sekaligus memeriahkan perhelatan 10 tahun pernikahan seorang
sahabat blogger yang baru kukenal.
Perbedaan latar belakang
Ini amat terasa diawal-awal pernikahan kami. Aku adalah sosok mandiri yang ditempa ranah
perantauan sejak tamat SD. Semua biasa kulakukan sendiri, serba praktis dan selalu
memperhitungkan semua bentuk efektifitas, cie… Sangat bertolak belakang
dengan suamiku yang tidak pernah merantau, sosok anak yang sangat dekat dengan
kehangatan keluarga. Sosok yang selalu diandalkan untuk mengawal Ibunda dan
mendampingi Ayahanda.
Sehingga
saat awal kebersamaan kami, suami selalu ingin melimpahkan semuanya padaku,
wajar saja sebenarnya bukan? Tapi aku justru kaget menerima sebentuk
perhatian yang kala itu kuanggap terlalu berlebihan. Misalnya saja, selalu
menawariku untuk diantar dan dijemput ditengah kesibukan kami yang jelas
berbeda. Aku sempat uring-uringan, mengapa tak disederhanakan saja
atas nama sebuah keefektifan. Begitu argumentku sering kali… Aku gagap
tak jelas, beginikah rasanya menjadi seorang istri? Adapun suamiku, beliau nyaman membahasakannya
sebagai bentuk rasa sayang.
Jadi ya walau awalnya tak sefaham, setelah
kupertimbangkan, apa yang harus kuributkan. Nikmati saja, dan seiring
berjalannya waktu aku makin memahami bahwa bersama itu menyenangkan, waktu yang
ada bisa digunakan untuk berdiskusi dan memberikan sebentuk perhatian. Misalnya
kalau dulu menunggu saat dijemput aku manyun, seolah ingin menggugat, harusnya
aku bisa langsung menghambur sendiri. Tapi karena ada yang menjemput, jadi
harus menunggu. Tapi sekarang? Seberapa lama kadang aku tak menyadarinya,
karena waktu menunggu bisa diisi dengan membaca atau kegiatan lain yang bisa kulakukan sendiri. Ini baru satu contoh. Banyak lagi tentang mandiriku yang
bersemberangan dengan suamiku. Namun seiring waktu berlalu gesekan itu tak lagi
terasa. Aku bahkan mensyukuri berkah perbedaan ini, jadi ada yang memanjakan.
Cara Pandang tentang Suatu Masalah
Dalam
menghadapi masalah biasanya dengan pembawaanku sebagai anak sulung, aku
cenderung tegas dan ingin masalah selesai segera, saat ini juga, bahkan
terkesan ngotot*ya mungkin juga sambil melotot... Tapi suamiku sebagai anak tengah, yang memang kerap jadi penengah, terkondisi untuk menyelesaikan masalah dengan tenang
dan mencari jalan tengah.
Mencari celah seperti air yang mengalir, berbeda dengan membendung alirannya, jangan dibendung, karena katanya kita tak tahu pasti seberapa besar arus yang datang. Sediakan saja diri untuk memahami, menjadi muara yang sejuk untuk berdamai. Bagaikan air biarkan masalah itu mengalir sampai ia temukan lubuk landai atau justru laut biru. Halaaah, sering aku tak sabaran*maafkanlah aku duhai suamiku…
Mencari celah seperti air yang mengalir, berbeda dengan membendung alirannya, jangan dibendung, karena katanya kita tak tahu pasti seberapa besar arus yang datang. Sediakan saja diri untuk memahami, menjadi muara yang sejuk untuk berdamai. Bagaikan air biarkan masalah itu mengalir sampai ia temukan lubuk landai atau justru laut biru. Halaaah, sering aku tak sabaran*maafkanlah aku duhai suamiku…
Tapi
kini, setulus hati makin kusadari bahwa pernikahan adalah menyatukan dua hal
yang memang sejatinya berbeda, tapi mana kala kita menyadari pernikahan adalah
sebuah pelayaran menuju sebuah keridhoan-Nya, tak peduli seperti apa cara
menyelesaikan masalah yang terpilih, caraku ataukah caranya, maka akan indah
bila kita selalu berada dalam rambu-Nya saja.
Beda cara mengungkap Rasa
Aku orang
yang kalau marah ramai sekali, brisik abis, bawel githu lho... langsung lega kalau sudah diungkapkan rasa marah tersebut. Inginku, dimarahi
juga seperti itu. Tapi aku tidak mendapatkannya. Suamiku kalau marah justru diam.
Pada bidang yang lain, aku kalau merasa bersalah mengungkapkannya dengan aksi
tutup mulut, diam, perlu waktu untuk mengakui kesalahan*nyebelin kan... sementara suamiku kalau salah, bisa langsung minta maaf dengan spontan, berbeda sekali ya...
Jadinya
dalam diam kami kadang tak bisa berjumpa. Itu dulu...
Sekarang? Acchh, sudah bisa kucumbu setangkup diam. Apapun rasa itu, maka kami punya bahasa tersendiri mengungkapkan rasa.
Sekarang? Acchh, sudah bisa kucumbu setangkup diam. Apapun rasa itu, maka kami punya bahasa tersendiri mengungkapkan rasa.
Perbedaan Menerapkan Pola Asuh
Aku orang
medis dan suamiku pengacara. Seharusnya tak ada hubungan ya dalam
menerapkan pola asuh, hehe… Tapi kenyataannya kami pernah sangat berbeda.
Saat
anak-anak lahir, tumbuh dan berkembang, yang kusadari karena mengerti akan hal
yang berhubungan dengan kesehatan aku jenderung overprotektif. Dan
suamiku justru terkesan serba boleh, biar anak-anak menikmati dunianya, begitu
dalihnya sering kali. Ya kadang sangat kelihatan berbeda, hingga anak-anakpun
jadi lebih senang bersama suamiku dalam banyak kesempatan, aku mulai instrokpeksi
diri. Mana ada anak yang senang dilarang ini itu, pasti semua ingin menikmati
kemerdekaannya dalam banyak hal.
Syukurnya
ini segera kami sadari bahwa tak sepenuhnya benar menerapkan pola asuh yang
sepertiku atau yang dipakai suamiku. Kamipun belajar lagi. Menjadi orangtua yang
berilmu, bukan semata mewariskankan seperti apa yang kami dapatkan dulu. Ikut
kelas parenting, sekolah para orangtua ternyata mampu menyatukan bahasa
juga sikap kami pada anak-anak. Menjadi orangtua yang bijak bestari seperti
Ibrahim, AS tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Menjadi orangtua pembelajar,
yang harus terus belajar. Kami berjanji untuk selalu berusaha, saling dukung
dan saling mengingatkan.
Komunikasi Kami
Sebenarnya
dibanyaknya masalah yang sering mendera, kuncinya hanya satu kata. Komunikasi.
Temukan cara komunikasi terindah dengan pasangan kita, maka apapun masalahnya,
dijamin terselesaikan dengan tuntas. Caranya? Komunikasikan saja, cara komunikasi
apa yang dinilai paling pas. Haruskah merujuk pada banyak teori komunikasi?
Menurutku, yang penting dikomunikasikan saja, ngobrol dong, ngobrol. Bahasa apapun yang akan dipilih, yang terpenting sepakati saja. Mudah
tampaknya. Tapi ternyata sulit diamalkan, tak segamlang teori komunikasi yang
banyak bertebaran. Apapun pilihan kita, tentu sudah melewati banyak pengalaman
dan pembuktian, begitu juga kami dalam pelayaran 9 tahun bersama. Bahasa cinta
kami mulai beragam. Dalam diam kami bahkan bisa berkomunikasi, dalam laju
kencang atau kala kapal seolah diam dalam perlahannya kamipun bisa
berkomunikasi, hanya dengan satu cara ungkapkan rasa, ya hanya dengan
bahasa cinta yang kami nikmati bersama.
Bukan
berarti kami sudah lulus dan berhasil mengungkapkan segala hal dengan bahasa cinta yang indah lho ya, contoh kecil
saja, aku justru baru tahu makanan favorite suamiku setelah bertahun-tahun kami
bersama. Mau tahu?
Ini bukan Serabi, tapi Kumbu Kacang Merah... |
Hihi…
kumbu kacang merah. Baru lihat dan baru mencicipi setelah lebih 8 tahun
menikah, kayaknya bisa buat sendiri. Persis seperti membuat getuk, bahan dasar Ubi diganti Kacang Merah. Tapi belum pernah kucoba*jadi ingin
malu…
Jadi
apapun masalah yang datang menerpa, bukan masalah lagi buat kami. Kami
bersepakat menikmatinya saja. Berjuang bersama nahkoda pelayaran dan
orang-orang terkasih untuk melalui setiap fase dalam pelayaran dengan indah,
memaknainya dengan cinta dan kesyukuran.
Hanya butuh bahasa kebersamaan, hingga dalam diampun kami sudah bisa saling
mengungkapkan rasa. Selalu suka apapun cerita, tak perlu menjadi orang lain
untuk dicintai. Indahnya bahasa komunikasi yang kami pilih, dengan bahasa cinta.
***
19 komentar:
terima kasih sharingnya bun,semoga menang ya
oh suaminya pengacara toh, mbak. dokter ketemu pengacara ternyata....sip sip....moga menang ya, sista.
Wah manisnya sebuah rumah tangga yg berjalan atas nama pengertian dan kasih sayang ya...
Indah sekali mbak..
Penasaran dg kumbu kacang merahnya mbak.. sptnya enak tuh. hehehe
Tulisannya bagus banget... semoga menang ya mbak.
banyak sekali pembelajaran yg didapat dr tulisan Yunda disini ,
perbedaan manjadi benar2 indah , malah bisa menjadikan Yunda dan suami saling pengertian dlm kasih sayang yg belum tentu bisa dilakukan atau ditiru oleh pasangan lain .
Semoga selalu bahagia lahir bathin fi dunya wal akhiroh ya Yunda ....
Semoga sukses diacara giveaway ini .......
salam
waduuh, saya banyak mendapat pelajaran nih dari postingan mbak..
semoga langgeng terus pernikahannya ya mbak....
pernikahan, bukan hanya menyaturan dua insan yang berbeda jenis, namun jg menyatukan perbedaan-perbedaan yg dibawa oleh masing-masing pasangan. Perbedaan bukan untuk disamakan, tapi untuk disatukan untuk dijalankan dg baik...
Jadi Banyak belajar dari tulisan bunda ini untuk referensi nanti bila berumah tangga.. :D
smoga sukses bun di GA-nya
baru tahu makanan itu, mbak...enak gak ya? pengen coba deh.
Wihiii bagus Mbak tulisannya.
Semoga menang :)
menyatukan 2 insan yang berbeda tentu butuh perjuangan yg tidak sebentar ya mba, banyak kesabaran dan lapang dada yg harus tersedia.
mmm 9 tahun Barokumullah.
would soon i write the beautiful same story like this..
Hopefully,,
so interesting..
Komunikasi emang penting ya Yun...alhamdullilah meskipun tidak pacaran sudah masuk 9 tahun.
Pacaran setelah menikah lebih enak kok yun
Saya lihat tulisan mbak ini sebagai refleksi dari istri yg taat pada suami. Patut dicontoh oleh para istri. Salam kenal.
perbedaan profesi bukan untuk mencari titik perbedaan baru. saya pikir yang besar di dunia harokah akan mengerti ini dan suami-istri saling mengerti. saluuut mba
rata-rata memang perempuan selalu lebih ekspresif mengungkapkan isi hatinya...
iya mbak di awal-awal nikah juga aku kaget trnyata begini toh aslinya suamiku ehhehe.....byk sekali perbedaanya...tp skrang kami justru menikmati perbedaan ini...sukses utk kontesnya....kayaknya menang nech..
setuju mbak, pernikahan itu memang harus diusahakan supaya berhasil ya mbak... aku dan suami juga sifatnya berseberangan... dia cenderung diam kalau marah, sedang aku sebaliknya... hihihi...
padahal yg penting kan komunikasi... alhamdulillah skrg suami lebih banyak membicarakan perasaannya dan aku lebih banyak mendengarkan... thanks for sharing mbak Keke.. semoga langgeng selalu ya mbak... amiiin... ^_^
postingan ini resmi menjadi peserta giveaway moment to remember di blogku, terima kasih sudah ikutan, salam kenal, Misfah
artikel yang sangat bagus dan bermanfaat
www.sepatusafetyonline.com
Posting Komentar