Jumat, 11 November 2011

Serabi Pelayaran: Bahasa Cinta Kami

Setahuku angka 10 sering diidentikkan dengan sebuah nilai yang mewakili kesempurnaan. Maka tak mengherankan kalau angka 9 dianggap yang paling mendekati sebuah kesempurnaan itu. Adakah menjadi berbeda dari tahun-tahun sebelumnya? Mungkin ada, tapi ada banyak juga yang tak merasa, katanya berbeda tapi tak nyata. 

Kalaulah mengarungi bahtera rumah tangga disamakan sebagai sebuah pelayaran maka 9 tahun bersama, seharusnya sudah cukup buatku untuk memahami siapa yang menjadi nahkoda pelayaran ini. Seseorang yang kupercaya memimpinku mengisi sisa usia dibawah kendalinya. Seorang yang menjadi imamku sejak 07 Juli 2002, saat aku belum lagi tamat kuliah dan tampa sebuah proses yang bernama pacaran.

Ibarat berlayar, kapal ini mulai memasuki tengah lautan, sesekali ombaknya terasa menghantam keras. Ombak pantai tentu berbeda dengan ombat tengah laut. Namun buat kami, kapal ini harus terus berlayar, dengan juang yang tentu berbeda. Jujur, aku justru begitu menikmatinya.

Dari sekian banyak cerita disepanjang 9 tahun lebih ini, ada 5 hal mendasar yang akan kubagi kali ini, tentang serabi alias serba serbi dalam pelayaran kami. Berbagi pengalaman, sekaligus memeriahkan perhelatan 10 tahun pernikahan seorang sahabat blogger yang baru kukenal.

Perbedaan latar belakang
Ini amat terasa diawal-awal pernikahan kami. Aku adalah sosok mandiri yang ditempa ranah perantauan sejak tamat SD. Semua biasa kulakukan sendiri, serba praktis dan selalu memperhitungkan semua bentuk efektifitas, cie… Sangat bertolak belakang dengan suamiku yang tidak pernah merantau, sosok anak yang sangat dekat dengan kehangatan keluarga. Sosok yang selalu diandalkan untuk mengawal Ibunda dan mendampingi Ayahanda.

Sehingga saat awal kebersamaan kami, suami selalu ingin melimpahkan semuanya padaku, wajar saja sebenarnya bukan? Tapi aku justru kaget menerima sebentuk perhatian yang kala itu kuanggap terlalu berlebihan. Misalnya saja, selalu menawariku untuk diantar dan dijemput ditengah kesibukan kami yang jelas berbeda. Aku sempat uring-uringan, mengapa tak disederhanakan saja atas nama sebuah keefektifan. Begitu argumentku sering kali… Aku gagap tak jelas, beginikah rasanya menjadi seorang istri? Adapun suamiku, beliau nyaman membahasakannya sebagai bentuk rasa sayang. 

Jadi ya walau awalnya tak sefaham, setelah kupertimbangkan, apa yang harus kuributkan. Nikmati saja, dan seiring berjalannya waktu aku makin memahami bahwa bersama itu menyenangkan, waktu yang ada bisa digunakan untuk berdiskusi dan memberikan sebentuk perhatian. Misalnya kalau dulu menunggu saat dijemput aku manyun, seolah ingin menggugat, harusnya aku bisa langsung menghambur sendiri. Tapi karena ada yang menjemput, jadi harus menunggu. Tapi sekarang? Seberapa lama kadang aku tak menyadarinya, karena waktu menunggu bisa diisi dengan membaca atau kegiatan lain yang bisa kulakukan sendiri. Ini baru satu contoh. Banyak lagi tentang mandiriku yang bersemberangan dengan suamiku. Namun seiring waktu berlalu gesekan itu tak lagi terasa. Aku bahkan mensyukuri berkah perbedaan ini, jadi ada yang memanjakan.

Cara Pandang tentang Suatu Masalah
Dalam menghadapi masalah biasanya dengan pembawaanku sebagai anak sulung, aku cenderung tegas dan ingin masalah selesai segera, saat ini juga, bahkan terkesan ngotot*ya mungkin juga sambil melotot... Tapi suamiku sebagai anak tengah, yang memang kerap jadi penengah, terkondisi untuk menyelesaikan masalah dengan tenang dan mencari jalan tengah. 


Mencari celah seperti air yang mengalir, berbeda dengan membendung alirannya, jangan dibendung, karena katanya kita tak tahu pasti seberapa besar arus yang datang. Sediakan saja diri untuk memahami, menjadi muara yang sejuk untuk berdamai. Bagaikan air biarkan masalah itu mengalir sampai ia temukan lubuk landai atau justru laut biru. Halaaah, sering aku tak sabaran*maafkanlah aku duhai suamiku…

Tapi kini, setulus hati makin kusadari bahwa pernikahan adalah menyatukan dua hal yang memang sejatinya berbeda, tapi mana kala kita menyadari pernikahan adalah sebuah pelayaran menuju sebuah keridhoan-Nya, tak peduli seperti apa cara menyelesaikan masalah yang terpilih, caraku ataukah caranya, maka akan indah bila kita selalu berada dalam rambu-Nya saja.

Beda cara mengungkap Rasa
Aku orang yang kalau marah ramai sekali, brisik abis, bawel githu lho... langsung lega kalau sudah diungkapkan rasa marah tersebut. Inginku, dimarahi juga seperti itu. Tapi aku tidak mendapatkannya. Suamiku kalau marah justru diam. Pada bidang yang lain, aku kalau merasa bersalah mengungkapkannya dengan aksi tutup mulut, diam, perlu waktu untuk mengakui kesalahan*nyebelin kan... sementara suamiku kalau salah, bisa langsung minta maaf dengan spontan, berbeda sekali ya...

Jadinya dalam diam kami kadang tak bisa berjumpa. Itu dulu...
Sekarang? Acchh, sudah bisa kucumbu setangkup diam. Apapun rasa itu, maka kami punya bahasa tersendiri mengungkapkan rasa.

Perbedaan Menerapkan Pola Asuh
Aku orang medis dan suamiku pengacara. Seharusnya tak ada hubungan ya dalam menerapkan pola asuh, hehe… Tapi kenyataannya kami pernah sangat berbeda.

Saat anak-anak lahir, tumbuh dan berkembang, yang kusadari karena mengerti akan hal yang berhubungan dengan kesehatan aku jenderung overprotektif. Dan suamiku justru terkesan serba boleh, biar anak-anak menikmati dunianya, begitu dalihnya sering kali. Ya kadang sangat kelihatan berbeda, hingga anak-anakpun jadi lebih senang bersama suamiku dalam banyak kesempatan, aku mulai instrokpeksi diri. Mana ada anak yang senang dilarang ini itu, pasti semua ingin menikmati kemerdekaannya dalam banyak hal. 

Syukurnya ini segera kami sadari bahwa tak sepenuhnya benar menerapkan pola asuh yang sepertiku atau yang dipakai suamiku. Kamipun belajar lagi. Menjadi orangtua yang berilmu, bukan semata mewariskankan seperti apa yang kami dapatkan dulu. Ikut kelas parenting, sekolah para orangtua ternyata mampu menyatukan bahasa juga sikap kami pada anak-anak. Menjadi orangtua yang bijak bestari seperti Ibrahim, AS tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Menjadi orangtua pembelajar, yang harus terus belajar. Kami berjanji untuk selalu berusaha, saling dukung dan saling mengingatkan.

Komunikasi Kami
Sebenarnya dibanyaknya masalah yang sering mendera, kuncinya hanya satu kata. Komunikasi. Temukan cara komunikasi terindah dengan pasangan kita, maka apapun masalahnya, dijamin terselesaikan dengan tuntas. Caranya? Komunikasikan saja, cara komunikasi apa yang dinilai paling pas. Haruskah merujuk pada banyak teori komunikasi?

Menurutku, yang penting dikomunikasikan saja, ngobrol dong, ngobrol. Bahasa apapun yang akan dipilih, yang terpenting sepakati saja. Mudah tampaknya. Tapi ternyata sulit diamalkan, tak segamlang teori komunikasi yang banyak bertebaran. Apapun pilihan kita, tentu sudah melewati banyak pengalaman dan pembuktian, begitu juga kami dalam pelayaran 9 tahun bersama. Bahasa cinta kami mulai beragam. Dalam diam kami bahkan bisa berkomunikasi, dalam laju kencang atau kala kapal seolah diam dalam perlahannya kamipun bisa berkomunikasi, hanya dengan satu cara ungkapkan rasa, ya hanya dengan bahasa cinta yang kami nikmati bersama.

Bukan berarti kami sudah lulus dan berhasil mengungkapkan segala hal dengan bahasa cinta yang indah lho ya, contoh kecil saja, aku justru baru tahu makanan favorite suamiku setelah bertahun-tahun kami bersama. Mau tahu?

Ini bukan Serabi
tapi Kumbu Kacang Merah...
Hihi… kumbu kacang merah. Baru lihat dan baru mencicipi setelah lebih 8 tahun menikah, kayaknya bisa buat sendiri. Persis seperti membuat getuk, bahan dasar Ubi diganti Kacang Merah. Tapi belum pernah kucoba*jadi ingin malu…

Jadi apapun masalah yang datang menerpa, bukan masalah lagi buat kami. Kami bersepakat menikmatinya saja. Berjuang bersama nahkoda pelayaran dan orang-orang terkasih untuk melalui setiap fase dalam pelayaran dengan indah, memaknainya dengan cinta dan kesyukuran.

Hanya butuh bahasa kebersamaan, hingga dalam diampun kami sudah bisa saling mengungkapkan rasa. Selalu suka apapun cerita, tak perlu menjadi orang lain untuk dicintai. Indahnya bahasa komunikasi yang kami pilih, dengan bahasa cinta.

***

Artikel bernuansa introspeksi ini diikutsertakan dalam GIVEAWAY 10th Years Wedding Anniversary :  Moment to Remember di blog Ladyonthemirror


19 komentar:

Lidya Fitrian mengatakan...

terima kasih sharingnya bun,semoga menang ya

Unknown mengatakan...

oh suaminya pengacara toh, mbak. dokter ketemu pengacara ternyata....sip sip....moga menang ya, sista.

catatan kecilku mengatakan...

Wah manisnya sebuah rumah tangga yg berjalan atas nama pengertian dan kasih sayang ya...
Indah sekali mbak..

the others... mengatakan...

Penasaran dg kumbu kacang merahnya mbak.. sptnya enak tuh. hehehe

Tulisannya bagus banget... semoga menang ya mbak.

bunda Lily mengatakan...

banyak sekali pembelajaran yg didapat dr tulisan Yunda disini ,
perbedaan manjadi benar2 indah , malah bisa menjadikan Yunda dan suami saling pengertian dlm kasih sayang yg belum tentu bisa dilakukan atau ditiru oleh pasangan lain .
Semoga selalu bahagia lahir bathin fi dunya wal akhiroh ya Yunda ....



Semoga sukses diacara giveaway ini .......
salam

meilya dwiyanti mengatakan...

waduuh, saya banyak mendapat pelajaran nih dari postingan mbak..

semoga langgeng terus pernikahannya ya mbak....

Anonim mengatakan...

pernikahan, bukan hanya menyaturan dua insan yang berbeda jenis, namun jg menyatukan perbedaan-perbedaan yg dibawa oleh masing-masing pasangan. Perbedaan bukan untuk disamakan, tapi untuk disatukan untuk dijalankan dg baik...
Jadi Banyak belajar dari tulisan bunda ini untuk referensi nanti bila berumah tangga.. :D

smoga sukses bun di GA-nya

Unknown mengatakan...

baru tahu makanan itu, mbak...enak gak ya? pengen coba deh.

Una mengatakan...

Wihiii bagus Mbak tulisannya.
Semoga menang :)

umahnya fityanakifah mengatakan...

menyatukan 2 insan yang berbeda tentu butuh perjuangan yg tidak sebentar ya mba, banyak kesabaran dan lapang dada yg harus tersedia.

mmm 9 tahun Barokumullah.

Unknown mengatakan...

would soon i write the beautiful same story like this..
Hopefully,,


so interesting..

Mulyani Adini mengatakan...

Komunikasi emang penting ya Yun...alhamdullilah meskipun tidak pacaran sudah masuk 9 tahun.
Pacaran setelah menikah lebih enak kok yun

Lukman Nulhakiem mengatakan...

Saya lihat tulisan mbak ini sebagai refleksi dari istri yg taat pada suami. Patut dicontoh oleh para istri. Salam kenal.

rusydi hikmawan mengatakan...

perbedaan profesi bukan untuk mencari titik perbedaan baru. saya pikir yang besar di dunia harokah akan mengerti ini dan suami-istri saling mengerti. saluuut mba

hilsya mengatakan...

rata-rata memang perempuan selalu lebih ekspresif mengungkapkan isi hatinya...

Nia mengatakan...

iya mbak di awal-awal nikah juga aku kaget trnyata begini toh aslinya suamiku ehhehe.....byk sekali perbedaanya...tp skrang kami justru menikmati perbedaan ini...sukses utk kontesnya....kayaknya menang nech..

Lyliana Thia mengatakan...

setuju mbak, pernikahan itu memang harus diusahakan supaya berhasil ya mbak... aku dan suami juga sifatnya berseberangan... dia cenderung diam kalau marah, sedang aku sebaliknya... hihihi...

padahal yg penting kan komunikasi... alhamdulillah skrg suami lebih banyak membicarakan perasaannya dan aku lebih banyak mendengarkan... thanks for sharing mbak Keke.. semoga langgeng selalu ya mbak... amiiin... ^_^

misfah mengatakan...

postingan ini resmi menjadi peserta giveaway moment to remember di blogku, terima kasih sudah ikutan, salam kenal, Misfah

Unknown mengatakan...

artikel yang sangat bagus dan bermanfaat
www.sepatusafetyonline.com