Selasa, 28 Juni 2011

Naskah Facelift

Saat Antri dan Saat Sendiri

Lift sudah sangat umum dipakai dikantor-kantor, hotel berbintang, pusat perbelanjaan di Kota-kota besar, Universitas, juga beberapa Rumah Sakit besar. Banyak yang setiap hari  dalam beaktivitas sering memanfaatkan penggunaan lift, tapi tidak begitu denganku. Aku bekerja disebuah instansi pemerintah yang gedungnya tidak bertingkat, tanggapun tak ada. Pusat perbelanjaan di Kotaku masih setia dengan ekskalator. Dulu sewaktu kuliah hanya ada tangga menuju lantai 2, saat masa klinik di Rumah Sakit sesekali naik lift yang sebenarnya ditujukan hanya untuk para pasien atau dosen, pengalamannya ya tak banyak  juga, kalau dipaksa mengingat jujur yang kuingat hanya rasa was-was bila sedang naik lift kepergok dosen dan dimarahi, tapi rasa was-was itu dikalahkan oleh kebersamaan bercerita dengan kawan-kawan, artinya kalaupun dimarahi aku tak akan sendiri. Dimarahi ramai-ramai tentu tak menakutkan, begitu menurutku dulu, tapi syukurnya tak pernah terjadi. Setelah menikah, sesekali liburan bersama suami dan anak-anak, menginap dihotel berbintang yang ada liftnya, baik-baik saja. Tak ada cerita nyasar, salah pencet ataupun terkunci. Dan semoga selanjutnyapun begitu. Lancar-lancar saja.

Kalaulah ada yang ingin kubagi, ini justru pengalamanku menggunakan lift di Luar Negeri. Aku pernah ke Arab Saudi selama kurang lebih 40 hari, dalam rangka tugas dinas sebagai tim kesehatan haji Indonesia (TKHI) atau lebih dikenal sebagai dokter kloter pada musim haji 1431 H yang lalu, tepatnya 2 November sampai 12 Desember 2010. Pengalaman pertama ke Luar Negeri, mengemban tugas mendampingi tamu Allah dalam kesendirian tampa keluarga tentu menjadi suatu kenangan yang tak terlupakan. Terlebih aku memang ada kecendrungan disorientasi tempat, walau tak begitu parah. Kalaulah ada yang dikhawatirkan oleh banyak orang terdekat yang tahu keadaanku, mereka mewanti-wanti agar aku selalu membuat tanda pada rute jalan dan jangan berjalan sendiri. Semoga tak sering nyasar, begitu canda mereka.

Pesan jitu, akupun sebisa mungkin selalu membuat tanda pengingat bila menyusuri suatu jalan atau daerah baru. Tapi untuk tidak berjalan sendiri ternyata tak selamanya berhasil. Aku terkadang terpaksa harus berjalan sendiri, walau hanya untuk jarak yang relatif sangat dekat. Melintasi kamar demi kamar dan mengunakan lift.  Kami tim kesehatan hanya terdiri dari 3 orang, seorang dokter dan 2 lainnya paramedis. Sedangkan jama’ah yang harus diperhatikan kondisi kesehatannya terdiri dari 450 orang. Dan sudah bukan rahasia lagi kalau jama’ah haji asal Indonesia lebih banyak yang sudah lanjut usia, artinya dengan resiko penyakit yang juga tinggi. Terkadang kami bertiga harus berbagi tugas kesana kemari. Ada yang merujuk ke pusat kesehatan haji yang sarana dan prasarananya lebih lengkap, ada yang harus jaga diposko kesehatan dan pada saat yang bersamaan ada pangilan dari jama’ah lainnya yang minta diperiksa dengan kondisi tak kuat lagi berjalan. Penyebabnya sering karena terlalu lelah atau serangan mendadak, ini harus segera diatasi dan biasanya aku langsung menghambur. Tak ada kesempatan lagi untuk menunggu kawan yang lain. Dan ini kerap terulang.

Maka kali ini akan kuceritakan kemana aku terpaksa harus berjalan sendiri. Di Mekkah selama 1 bulan lebih 2 hari, pemondokan untuk jama’ah kloter kami terbagi 2. Ini biasa terjadi, syukurnya jarak antar pondokan yang satu dengan yang lainnya tak jauh, selang hanya sekitar 50 meter saja. Berbeda dengan pemondokan beberapa kloter lainnya yang terpisah sampai 300 meter, tapi ada juga yang lebih beruntung, satu kloter satu pemondokan. Ini jelas sangat berpengaruh pada tugas kami tim kesehatan kloter. Kembali ke pemondokan kloter kami, di Mekkah kami mendapat pemondokan di daerah Bakhutmah, Maktab 55 dan 56 berjarak sekitar 2 Km dari Masjidil Haram. Di Maktab 55 yang terdiri dari 9 lantai, hanya ada 10 kamar untuk jama’ah kloter kami, semuanya tersebar dilantai 6 dan 7, sisanya adalah jama’ah asal Banten, Jawa Barat. Adapun di Maktab 56 yang terdiri dari 10 lantai, jama’ah kloter kami lebih banyak, mulai dari lantai 5 sampai lantai 10. Dan posko kesehatan kloter ada di lantai 6. Adapun tetangga satu pondokan kami adalah jama’ah asal Medan yang menempati lantai 1 sampai 4. Memperhatikan sebaran penempatan jama’ah kloter kami, praktis hampir semua aktivitas harian harus menggunakan fasilitas lift.

Maktab yang dihuni jama’ah haji rata-rata asal Indonesia beragam jumlah liftnya. Aku pernah melihat yang satu pondokan liftnya ada 3 atau 4. Tapi dipondokan kami yang ada di Mekkah berjumlah 2 buah. Lift 2 saja sudah cukup menurutku, bahkan tak selalu ramai, karena memang ritme ibadah di Mekkah sangat variatif, artinya berbeda antar jama’ah yang satu dengan yang lainnya. Menjelang pelaksanaan wajib haji, ibadah para jama’ah biasanya terpusat pada kegiatan berangkat ke Masjidil Haram, ada yang hanya sholat ada juga yang melakukan serangkaian umroh sunnah. Ada jama’ah yang berangkat subuh pulang dhuha, ada yang berangkat menjelang dzuhur pulang sampai isya, ada yang berangkat menjelang isya sampai subuh. Jadi kejadian ngantri di lift sangat jarang kutemui. Kalaupun ada aku justru menikmatinya sekali, bersyukur bisa ngobrol dengan para jama’ah sekaligus mengetahui kondisi kesehatan mereka secara langsung atau menggali informasi seputar kesehatan teman sekamar mereka. Jadi ngantri di lift buatku adalah moment yang justru kutunggu. Kecuali saat ngantri lift menjelang keberangkatan ke Arafah. Menjelang puncak haji 9 Dzulhijah, para jama’ah terlihat sangat ingin mendahului satu dengan yang lainnya, berulangkali sudah diingatkan tapi seolah tak didengar. Disinilah kubuktikan, bahwa ibadah haji kuncinya harus sabar, godaan untuk bersikap dan bertindak tak sabaran yang hanya mengandalkan emosi seolah mencapai puncaknya justru di menjelang wajib haji. Saling rebutan ingin mendahului, lift berulang kali berteriak karena kelebihan muatan dan nyaris tak ada yang mau mengalah. Sampai harus keluar kata-kata kasar demi menurunkan seorang dari lift agar lift mau berjalan. Ini kusaksikan dengan hati miris berduka. Oh sabar sedang kemana dirimu? Dan kejadian serupa ternyata berulang lagi ketika kami hendak berangkat ke Madinah, orang dan barang ngantri dengan tidak sabar dipintu lift, rebutan ingin masuk. Padahal Bus yang mau dipakaipun dengan setia menunggu didepan Maktab. Nyaris lupa juga berkawan dengan yang namanya sabar.Atau si sabar sedang jalan-jalan ;)

Demikianlah, antri dilift walau sudah berusaha kunikmati, bagaimanapun terkadang bikin heboh. Apalagi di Madinah, Hotel kami hanya berjarak 150 meter dari masjid Nabawi, bahkan suara adzannya terdengar jelas, dan jarak adzan ke iqomah lumayan lama. Kondisi inilah yang dimanfaat oleh banyak jama’ah untuk berangkat ke Masjid sesaat menjelang adzan dan karena aktivitas ibadah sunnah di Madinah terpusat pada sholat arbain, yaitu sholat 5 waktu selama 40 waktu berjama’ah di Masjid Nabawai, yang artinya rutinitas keberangkatan dan kepulangan jama’ah hampir bersamaan, maka pengunaan liftpun sering antri. Tapi syukurnya lebih terkendali dan sudah bisa sambil bercanda. Entahlah, semua kami petugas kesehatan mengakui bahwa fase Madinah lebih tenang, secara umum jama’ah juga lebih sehat, sehingga saat beribadahpun menjadi lebih menyenangkan. Apa karena sebentar lagi mau pulang ke Tanah Air? Semuanya jadi terasa membahagiakan. Lewat sebulan lebih di Mekkah, maka tinggal menghabiskan 8 hari lagi di Madinah untuk bisa pulang ke Indonesia. Dan tercatat sampai waktu kepulangan, antri di lift tidak sampai membuatku trauma.

Yang ada aku justru seringkali was-was bahkan nyaris trauma saat berada dalam lift sendirian. Seperti yang kuceritakan sebelumnya aku terkadang tak berhasil menghindar untuk berjalan sendiri, tadinya kufikir tak mengapalah mengingat jaraknya yang sangat dekat. Naik turun lift saja. Seringnya aku berpapasan dengan para jama’ah yang mau naik atau turun, bila bertemu dengan jama’ah asal kloterku yang jelas sudah mengenalku biasanya kami terlibat obrolan sederhana, seputar aktivitas harian juga kondisi kesehatan mereka. Bila berpapasan dengan jama’ah asal kloter lain yang memang satu pondokan biasanya bertukar senyum juga salam. Dan pengalaman berpapasan inilah yang sempat membuatku cemas tapi langsung tanggap melakukan tindakan cepat yang tepat menurutku. Saat berpapasan dengan petugas cleaning servis pondokan di lift, yang ada di pondokan kami saat di Mekkah dan di Hotel Madinah adalah pekerja asal Banglades. Hampir mirip orang India, berpostur tinggi tegap besar dan biasanya muslim. Bagiku mereka tetap orang asing, meski beberapa kali mereka datang ke posko kesehatan kami sekedar bertukar salam atau meminta obat, tapi tetap saja adat kebiasaan dan bahasa yang berbeda membuatku harus lebih waspada. Maka saat berpapasan dengan mereka di lift, aku memilih segera keluar walaupun belum sampai lantai yang kutuju. Keluar dan berganti lift, tampa menampakkan wajah kikuk tentunya. Ini kuanggap strategi paling aman, daripada sibuk mengatur kata saat berada dalam lift untuk beramah-tamah dengan mereka dan kita tak bisa pastikan apa yang terjadi selanjutnya, bagaimana bila lift tiba-tiba mati dan kita terjebak dalam lift dengan mereka, begitu kata hatiku, jenderung paranoid.

Kebanyakan aksi langsung keluar lift walau tidak di lantai tujuan berlangsung aman, kecuali sekali. Saat 2 hari lagi kloter kami berangkat ke Madinah, kloter tetangga asal Medan yang berada di lantai 1 sampai 4 Maktab 56, sudah berangkat terlebih dahulu. Dan sayangnya aku lupa. Hingga aku harus mengalami kejadian lari dari lantai 1 ke lantai dasar lewat tangga, setelah berpapasan dengan petugas cleaning servise pondokan di lift. Kejadiannya aku mau turun ke lantai dasar dari lantai 6, saat pintu lift dilantai 1 terbuka dan masuklah petugas cleaning servise yang orang Banglades aku langsung ngacir keluar lift, tak kupedulikan wajah keheranannya. Baru kusadari lantai 1 telah kosong, karena telah sehari yang lalu kloter asal Medan berangkat ke Madinah. Akupun langsung ambil langkah seribu menuju tangga dan turun ke lantai dasar, syukurnya tak kepergok orang lain dan syukurnya juga hanya dari lantai 1, coba kalau dari lantai 4, pasti lebih ngos-ngosan. Hampir mirip saat di Hotel Madinah aku pernah salah pencet, mungkin mengantuk karena kala itu sudah lewat isya, aku dipanggil ke lantai 8 ada jama’ah yang sakit, ternyata sampainya ke lantai 9 yang sudah kosong jama’ah. Sempat bergidik juga, kabur langsung turun lagi.

Kali lain masih di Mekkah, saat aku pulang dari lantai 7 memeriksa jama’ah yang sakit di Maktab 55, pintu lift terbuka dan klik, akupun langsung tersipu malu, saat kudapati sekelebat bayangan sepasang Nenek Kakek yang usai berciuman. Aku malu sampai wajahku tak berani kuangkat, tapi namanya usia lanjut, banyak penelitian membuktikan seolah kembali kemasa kanak-kanak, mereka justru senyum-senyum tampa dosa. Jadilah aku yang serba-salah sendiri. Akhirnya bertanya mengurai rasa,
“Nini dan Aki dari Banten ya? Tadi dari jemur pakaian?” tanyaku penuh retorika sambil melirik tentengan ember yang mereka bawa, kupastikan mereka dari lantai teratas, bisa-bisanya tadi tak menyadari kalau pintu lift bisa saja terbuka sewaktu-waktu karena ada yang mau ikut dan menangkap adegan mesra mereka. Eleh-eleh sempat-sempatnya ya... 
“Iya Neng”, jawab mereka bersamaan, masih mengulum senyum. Lalu turun di lantai 5.
Ya jelaslah, aku tak kenal mereka, berarti mereka bukan jama’ah kloterku dan di Maktab ini selain kloter kami hanya ada jama’ah asal Banten. Syukur yang tak bisa kupungkiri, kalau kenal jelas aku makin malu dan jadi rikuh berkepanjangan. Ini berpapasan di lift dengan sepasang suami istri yang terheboh, umumnya aku hanya dibuat iri melihat kebersamaan mereka dan segera berdo’a, semoga ditahun mendatang aku bisa jadi jama’ah haji berdua bersama suami tercinta. 

Beginilah, kisah sendiri melintasi lift yang penuh warna. Itu pengalamanku saat berjalan sendiri melintasi lift di Negeri Orang. Sedangkan untuk jarak tempuh yang jauh biasanya aku tak akan sendiri, harus dikawal oleh petugas lain, ketua regu atau ketua rombongan bila untuk serangkaian keperluan menjalankan tugas, tapi bila untuk aktifitas yang sifatnya pribadi biasanya aku ikut jama’ah yang berangkat rombongan. 

Ini saat antri atau saat sendiri?
Yang pasti ini bukan didalam lift, hiii...

Catatan Kaki:
Aku agak heran, mengapa di Madinah pemondokan lebih umum disebut hotel, berbeda dengan di Mekkah yang lebih sering disebut Maktab.


***

Tulisan ini kukirim ke gm_cakrawala@yahoo.com pada tanggal 25 Juni 2011 yang lalu dari Sukabumi ditengah kendala sinyal yang hilang timbul, tadinya tak yakin juga terkirim sampai malam ini baru sempat buka email, ternyata ada balasan singkat:
Nuhun Yunda :)

Salam, 
Tias

Alhamdulillah ternyata sampai juga ya...soal nanti naskahnya lolos seleksi atau tidak, buatku yang penting sudah menulis, sudah usaha, jujur awalnya agak keder menulis pengalaman seputar lift sepanjang 4-5 halaman tapi akhirnya berjibaku untuk tetap menulis. 
Soal hasilnya, buatku bukan yang utama.


3 komentar:

Lyliana Thia mengatakan...

Aaah pengalamannya seru banget Mba Keke... Semoga lolos seleksi... Aduh kok aku lupa yak? Huhuhu... udah deadline yah Mba?

Btw, suka disorientasi juga yah Mba? Hhihi bahaya klo jalan sendirian yah! Trus,... yg kakek nenek abis ciuman di lift? ya ampuuun bikin iri aja...! hahahaaa....

Tapi ironis sepertinya yah di kala menjelang pelaksanaan ibadah wajib, sepertinya sang sabar raib entah kemana... hiks... :-(

Hariyanti Sukma mengatakan...

mending mbak .. liftnya ada 2, lah waktu saya di Mekah .. maktab yang kami tempati 10 lantai dan saya berada dilantai 9 liftnya hanya 1... ya cuma SABAR penyelesaiannya.

Artineke A. Muhir mengatakan...

Tia:
Iya kemaren juga hampir telat, ayo Tia ada beberapa yang hampir DL juga lho...
Itu yang tentang mengenang seorang dokter, bla...bla...coba buka diundangan menulis, kalau tak salah DLnya besok lho...

Begitulah Tia, seru dan mengesankan, hmmm ;)

Bu Yanti:
Wach Mbak sudah berhasil melewati tahap sabar yang rumit ternyata. Semoga makin sucses ya Mbak....