Minggu, 01 Mei 2011

Belajar dari Ibrahim


Episode  Kecerdasan Finansial


Sebenarnya masalah uang saku aku punya pengalaman tersendiri. Seingatku sejak SMP, aku sudah ditempa untuk bisa mengelola uang saku selama 2 pekan, SMA dan kuliah diterapkan uang saku bulanan, ya….ya….awalnya kerepotan juga karena ini tak diawali dari kecil atau dimulai dengan rentang waktu yang lebih singkat dua hari pertama misalnya. Tanpa latihan tapi langsung ujian dan dipaksa harus lulus. Karena ketika SMP aku sudah merantau ke Kota Propinsi dan masuk asrama, terpisah dari orangtua dan ditengok 2 pekan sekali, bergantian oleh kedua orangtua. Syukurnya tak begitu banyak kendala.

Kalaulah ditela'ah dampaknya dikemudian hari memang ada, justru sangat jelas. Karena konsep uang saku yang belaku saat zaman aku sekolah dulu adalah kagetan, tanpa pembelajaran, mesti BISA tanpa difahamkan, harus cukup tanpa boleh minta tambahan karena orangtua jauh dan belum kenal metode transfer, artinya bisa karena terpaksa.

Adapun dampaknya yang paling terasa adalah saat sudah bisa punya uang sendiri,  aku sering melakukan impulse buying (belanja yang tidak terencana). Sebenarnya aku sudah melakukan belanja bulanan, tapi kadang suka tergoda dengan diskon atau faktor lain, aku tidak berfikir panjang apakah sesuai kebutuhan seperti saat sekolah dulu yang takut kehabisan uang saku, toch sekarang aku seperti bersekongkol dengan yang namanya pembenaran, nanti kan bisa minta suami atau cari lagi.

Adalagi penyebabnya, saat mau pergi anak-anak pesan :
”Mi, nanti beli Es Krim ya..”  atau  “beli buku dan mainan ya....”
Serta merta aku ”mengiyakan”, karena merasa ingin membuat mereka senang, toch berapa juga harganya, tak begitu mahal. Tapi pesan apa yang sudah aku sampaikan pada anak-anakku.
”Boleh punya keinginan apa saja, kapan saja maka akan kupenuhi Nak...agar kalian senang”
Begitukah? Bukan soal harganya yang kurang dari lima ribu. Lebih dari itu mereka tanpa sadar sudah kulatih untuk dikendalikan oleh keinginan. Tanpa sengaja aku sudah mendidik mereka bermental pasif, menjerumuskan mereka pada pola belanja berbasis keinginan bukan kebutuhan, terlalu mudah mendapatkan sesuatu, tanpa harus keras berjuang. Yang paling tampak, ternyata aku sudah mewariskan pola belanja yang tidak terencana pada anak-anakku. Mengarah pada pola hidup konsumtif. Padahal jelas aku tak ingin ini terjadi pada anak-anakku.

***

Ada lagi saat aku mengajarkan mereka menabung, masih dengan cara yang sangat konvensional.
”Ini uang untuk nabung ya Nak...”
Bagus memang, tapi perlu dikaji lagi ini yang mau nabung anak atau orangtuanya ya?

Disatu sisi, banyak orangtua yang tidak mengajarkan cara mengelola uang pada anaknya. Tak ada panduan cara membelanjakan uang, cukupkah kasih uang saat anak meminta, belilah sesuai keinginan, tak ada rencana, tak ada diskusi, boleh minta kapan saja, asal tidak dalam jumlah yang besar, kalaupun sesekali dikasih Yai Nyai ( Kakek Nenek) boleh belanja ini itu, asal tidak semaunya, sisanya ditabung.
Hmm....lagi-lagi orangtua yang ngatur, akupun begitu, ikut-ikutan. Ya, itu yang aku dapatkan dulu dan ”nyaris” kebablasan turut menurunkannya.

Sampai suatu waktu aku membaca buku tentang kecerdasan finansial sejak dini, *lupa judul dan pengarangnya, sudah berusaha kucari, tapi belum juga ketemu, tak ada jejaknya, hikszz
Dari buku itu aku mendapat pencerahan, bahwa sesungguhnya konsep uang saku justru akan melatih anak untuk memanegement uangnya. Walau aku tak serta merta menerapkan konsep uang saku dalam buku itu. Karena deskripsinya uang saku untuk satu pekan. Pada anak kelas 3 atau 4 SD. Jelas dan fokus isinya. Membuatku terkesan, dan berjanji akan menerapkannya beberapa tahun lagi.

Tapi fakta berkata lain, ada pengalaman teman, ada juga yang kualami sendiri.
Suatu ketika seorang temanku dengan panik bercerita, bahwa anaknya diberi uang 100 ribu oleh kawannya. Jumlah yang besar *paling tidak menurutku, untuk anak kelas 3 SD. Selidik punya selidik, si- kawan adalah anak seorang pejabat sekelas Kepala Dinas yang juga seorang pengusaha sucses, jadi anaknya memang biasa mengantongi uang 1 juta kesekolahnya.
Panik? Boleh saja, asal bukan kepanikan yang membuat tak enak makan dan tak nyenyak tidur, dan semoga kepanikan yang melahirkan kesadaran bahwa kita wajib memberikan penguatan, vitamin dan sebagainya agar ”imunitas” anak-anak kita optimal terkhusus yang berhubungan dengan uang. Karena anak-anak punya lingkungan sekolah dan bermain yang tidak ”steril”, dan kita tak bisa ada disamping mereka sepanjang waktu.

Adalagi pengalamanku pribadi, anak sulungku saat di TK punya cerita heboh, ada kejadian pembobolan uang infaq di kelasnya. Diprovokasi oleh seorang siswi. Cerita Bunda Asiah, guru kelasnya membuat aku membuncah haru, saat sebagian anak ikut membelanjakan uang infaq ke kantin sekolah, sulungku tidak. Dan apa jawabannya saat ditanya mengapa tidak ikutan.

”Yunda takut dengan Allah ”

Duch....tak tertahankan airmata bahagia ini Nak.... betapa bangga punya anak sepertimu.
Alhamdulillah konsep muroqobatullah (merasa selalu diawasi Allah) tertanam dengan baik. Selebihnya tentang kecerdasan finansial yang harus dimatangkan lagi, tadinya aku berniat memulainya saat Yunda SD kelas 3. Ternyata pengalaman ini menyadarkanku, sepertinya harus lebih awal.

Melengkapi kisah, Yunda juga cerita bahwa kawannya yang mempelopori pembobolan massal atas uang infaq dikelasnya tersebut adalah anak yang tidak pernah bawa uang ke sekolah,  karena dilarang oleh kedua orangtuanya. Jadi ia sering minta uang kawannya sampai puncaknya tergiur melakukan pembobolan. Satu pelajaran lagi, melarang anak punya uang saku justru bukan tindakan bijak.

Jujur sejak itu aku mulai memperbanyak baca refrensi tentang kecerdasan finansial. Khusus pada konsep uang saku diperdalam lagi. Sharing dengan teman juga lebih intensif kulakukan. Kapan tepatnya mereka dikenalkan pada konsep uang saku, pola pemberian bahkan seberapa besar yang ‘pas’ untuk mereka. Mulai dari yang paling mungkin dan paling mudah pengawasannya. Hasilnya akupun mulai PeDe melatih mereka punya uang saku sendiri. Yang tentu disertai dengan memahamkan dengan bahasa mereka. Karena jarak umur kedua anakku tak begitu jauh, terpaut 1,5 tahun, jadi bisa sekali jalan.

Uang saku bukan uang jajan. Artinya uang tersebut boleh buat apasaja, termasuk menabung atau infaq di Sekolah. Awalnya ada rengekan disana sini, minta tambah karena tadi uang sakunya sudah buat beli stick Ipin Upin atau mainan lainnya, jadi habis, trus pengen beli yang lain ( ini khasnya Akang). Tak ada tambahan, boleh nangis, boleh kesel, tetap tak akan ditambah, atau pernah juga jatah besok diminta hari ini, tapi yakinkan besok tak akan diberi lagi. Mau merayu atau melengking sama saja. Betapa buahnya mulai terlihat. Belum sampai sebulan sejak pemberlakuan uang saku harian pada mereka. Sudah ada serangkaian cerita. Tentang nasib uang saku mereka.

Memang sesekali Yunda masih ingin uang sakunya ditambah, katanya buat menabung.
Karena alasan kawan-kawannya biasa menabung dalam jumlah besar di Sekolah. Jadi PR-ku untuk membuatnya tak tergiur dengan besarnya uang kawan.

Menjadi lebih simple karena masalah Es Kriim dan belanja buku, sudah kuselesaikan terlebih dulu. Boleh ada Es Kriim dan buku, sesuai jadwal yang sudah disepakati, dalam musyawarah yang selalu ramai plus lucu. Seiring waktu berjalan aku mulai menyiapkan mereka pada jangka waktu yang lebih lama, 3 hari atau seminggu misalnya. Masih dalam tahap analisa. Agar tak kaget sepertiku dulu, hu hu...
Berproses tentu akan terasa lebih indah.

Tentang arti penting sebuah proses yang ikut melibatkan anak secara aktif, Nabi Allah, Ibrahim, AS sudah mengukir keteladanannya. Simak dalam Firman Allah,

Q.S Ash-Shaffat : 102
"........Ibrahim berkata: Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi aku menyembelihmu. 
Maka pikirkan bagaimana pendapatmu?............"

Bagaimana Ibrahim berdialog dengan putranya Ismail, meminta pendapatnya. Padahal bisa saja bentuk intruksi atau perintah yang dilakukannya. Karena seperti kita tahu Ismailkan anak yang sholeh jadi bisa dipastikan ia akan menuruti semua perintah sang Ayah. Sama hasilnya, tapi berbeda prosesnya.

Ya, ya...selalu ada kata belajar disetiap kesempatan bersamamu nanda.
Belajar dari Ibrahim, belajar taqwa kepada Allah.

***

Di bawah ini merupakan beberapa hal yang membuat anak kita menjadi terbiasa jajan (infulse buying)  pada usia dini: 
1.    Beberapa orang tua mengajak anak jajan bila anak rewel untuk membuat anak diam. 
2.    Ada orang tua mempunya kebiasaan jajan yang akhirnya ditiru oleh anak. 
3.    Orang tua sengaja mengajak anak jajan. 
4.    Orangtua memberi jajanan yang berlebihan untuk bekal sekolah. 
5.    Orangtua membiarkan pembantunya atau orang lain memberikan jajanan kepada anak.
Jadi, jika sebenarnya kelima hal diatas dihindari, anak tidak akan terbiasa jajan. Ketika anak rewel sebenarnya yang dia butuhkan adalah perhatian dan keteladan orangtua.

Jajan itu boleh namun ada syaratnya :
1.    tidak untuk jadi satu kebiasaan (hanya sesekali)
2.    tidak berlebihan, dan
3.    memilih jajanan yang sehat

PARENTING difokuskan pada kecerdasan financial sejak dini :
P = Pengasuhan Anak. 

A = Anak adalah Anugerah. 
Pengelolaan keuangan adalah kunci kesuksesan finansial. Seorang anak membutuhkan orangtua untuk belajar berhemat dan mengelola keuangan untuk masa depannya. Biasakan berdiskusi dengan anak, minta pendapatnya. Utamakan membuat kesepakatan yang dimusyawarahkan, bukan orangtua yang semata-mata menentukan aturan.

R = Redam Kemarahan.
 Ketika anak mengamuk minta jajan, hindari memarahinya.  
ketika anak mengamuk, orang tua tidak perlu marah. Karena, hal ini dapat memberikan efek negatif pada anak. Anak bisa saja merasa malu dan marah, sehingga ia menangis lebih keras lagi. Ajaklah anak bicara apa tujuan datang kesini (mall, bila mengamuk di mall), ingatkan pada kesepakatan bersama.

E = Empati, mau Mendengarkan.
Dengarkan alasan-alasan yang dikemukakan anak dengan tenang. Jadilah pendengar yang baik. Hikmah diberikannya kita satu mulut dan dua telinga, agar lebih banyak mendengar daripada berbicara. 

N = Notifikasi Pembicaraan dan Tindakan.
Setelah anak rajin menabung di celengan, dan ada kesepakatan bahwa isi celengan untuk membeli mainan. Penuhi janji sesuai kesepakatan (membeli mainan bila celengan penuh). Penuhi kesepakatan kapan saja jajan diperbolehkan. Ingatkan bahwa uang itu tidak tak terbatas. Bijak dan hemat dalam mebelanjakan uang. 

T = Tanamkan Energi Positif.
 Predikat anak hemat, anak pintar, anak jujur dan anak yang suka menabung, anak rajin berinfaq harus kita lekatkan pada anak-anak kita.

I = Istiqomah (Konsisten).
Setiap menemukan recehan, rajin mengingatkan untuk diisi ke celengan. Tidak jajan kecuali sesuai kesepakatan. Sabar untuk tidak menuruti kemauan anak walaupun anak mengamuk. Konsisten memenuhi jadwal ke toko mainan. Pengasuhpun harus konsisten dilibatkan dalam melarang jajan.

NG = meNGadakan time out
Tidak diperlukan.

Referensi :
1.    Anak saya tidak nakal kok, dr. Zulehah Hidayati
2.    Yuk Jadi Orang Tua Shalih, Ihsan Baihaqi Al Bukhori. Aku suka sekali buku ini, sangat aplikatif dan dulu pernah ikut program parenting-nya juga.

3.    13 langkah hadapi anak mengamuk di mall , http://aansubhan.wordpress.com 
4.    Trik hadapi anak mengamuk, http://www.ayahbunda.co.id/mobile/article

Semoga kita bisa dengan sepenuh hati memaknai bahwa anak adalah anugerah terindah untuk kita, karena sebagai orangtua kita kerap lupa. Harus selalu saling mengingatkan dan menyemangati.


Sebait puisi ini semoga membantu kita untuk terus belajar. Menempa diri menjadi orangtua sholeh yang siap memikul amanah untuk sebuah peradaban mencetak generasi robbani.
 
Sahabat Rahim

Segenap rasa syukur ini lengkap menyatu                                                                   
Sejak kau ada dalam rahimku                                                                                                       
Aku bertekad menjadi sahabat terbaikmu
Kalian adalah sumber inspirasi
Kalian adalah anugrarah terindah
Hari-hariku bertambah ceria sejak kalian hadir
Warna indah pelangipun membias sempurna dihati sejak adamu


Dengan segenap fitrahmu
Tiada kata yang mampu melukis bahagiaku
Hari-hari berlalu
Saat semua mulai bertumbuh dan bergerak cepat
Mengapa aku seolah tak siap

Tapi Nanda....
Aku sadar, semua tak mudah
Duhai diri yang tengah berjuang menjadi sahabat terbaikmu
betapa bersamamu adalah hal yang perlu ilmu
tak cukup hanya mengandalkan tradisi warisan seperti kala kudidik dan diasuh dulu
karena dirimu bukanlah aku
dan tentu tak suka dibandingkan, bahkan dengan diriku dimasa lalu


Sebenarnya...
anak bisa patuh tanpa diteriaki

anak senang berbuat baik tanpa diminta

anak akan belajar tanpa dipaksa

anak dapat mandiri tanpa digurui

anak punya ketahanan diri tanpa harus diisolasi


Dan sesungguhnya...
orangtua baik akan menjelaskan
orangtua bijak melakukan teladan
orangtua cerdas selalu menginspirasi

(Kutipan buku Yuk Jadi Orangtua Shaleh)

Lebih dari semua itu aku tersadar, bahwa sebagai orangtua sudah saatnya aku menambah wawasan mereka tetang uang. Tentang kecerdasan financial ternyata ada tingkatan yang lebih tinggi daripada hanya mengelola uang. Dalam buku Rich Dad, Poor Dad. Kisah orang-orang terkaya didunia, bagaimana kita bisa menghasilkan uang sedini mungkin. Menghasilkan, menciptakan uang sejak kecil. Tak hanya sekedar mengelola uang yang sudah ada. Waw lebih dahsyat, akupun ingin. Ini butuh “ belajar cepat”, dan hanya masalah waktu. Kedepan kitapun harus BISA. Dan kesadaran akan pentingnya kecerdasan financial sejak dini ini harus  kutularkan. Mengajak orang-orang terdekat.

"Dan hendaklah takut orang-orang yang meninggalkan teturunan di belakang mereka dalam keadaan lemah yang senantiasa mereka khawatiri . Maka dari itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengatakan perkataan yang lurus benar." (An Nisaa’ 9)

Ya, salah satu pinta yang sering diulang Ibrahim dalam doa-doanya adalah mohon agar diberi lisan yang shidiq. Dan lisan shidiq itulah yang ia pergunakan juga untuk membesarkan puteranya sehingga mereka menjadi anak-anak yang tangguh, kokoh jiwanya, mulia wataknya, dan mampu melakukan hal-hal besar bagi ummat dan agama.


Kita? Mari sejenak kita renungkan tiap kata yang keluar dari lisan dan didengar oleh anak-anak kita. Sudahkah memenuhi syarat sebagai Qaulan Sadiidaa, kata-kata yang lurus dan benar, sebagaimana diamanatkan oleh ayat di Surat An Nisaa’ tersebut? Ataukah selama ini dalam membesarkan mereka, kita hanya berprinsip “asal tidak menangis” atau ”asal anak senang, asal anak bahagia”. Padahal baik agama, ilmu jiwa, ilmu psikologi juga ilmu perilaku menegaskan bahwa menangis itu penting dan senang juga bahagiapun bisa dengan airmata.

Belajar dari Ibrahim….
…. belajar untuk menjadi orangtua bijak bestari.

***


Tulisan ini kupersembahkan untuk seorang sahabat dan keluarganya, Arif Bayu Saputra, dalam rangka merayakan Ulang Tahun istri tercinta yang ke-20 dan Ulang Tahun pernikahan yang pertama.
Selamat ya...
Semoga makin barokah….

Walau mungkin isinya kurang memenuhi kriteria, atau tak berkenan semoga sedikit banyak ada manfaatnya dan bisa memeriahkan acara yang FLAST adakan.

Met hari lahir ya dinda Uzlifahtul Fitriah, semoga anak yang dikandung kelak menjadi seorang anak yang sholeh, menjadi penyejuk mata dan membanggakan bagi kedua orangtuanya.

Teriring salam Yunda dan Akang dari tepian Musi.
Untuk Om Bayu, Tante Uzli dan dedeknya, kami sekeluarga menghaturkan salam hangat persaudaraan, kami sangat senang dengan semangat silaturrahim ini. Semoga kebahagiaan, keluasan rizky dan keberkahan selalu menaungi keluarga yang gemar bersilaturrahim. Aamiin

4 komentar:

Arif Bayu Saputra mengatakan...

Saya save dulu mbak......... ditunggu pengumumannya.... artikelnya lolos verifikasi............:)

Artineke A. Muhir mengatakan...

Thanks ya....Oke :)

Anonim mengatakan...

Artikelnya boleh ku-save utk aku pribadi yah Mbaaa... bermanfaat banget :-D

Artineke A. Muhir mengatakan...

Tia:
Boleh banget :)
Ya syukurlah bila bisa bermanfaat, usia 3 tahunpun kita bisa mengenalkan pada konsep uang dengan bijak, semoga berhasil ya....