Senin, 09 Mei 2011

Akang pasti BISA

Hari ini 11 Maret 2011 hasil test persiapan masuk SD Hamas, anak keduaku dibagikan.
Mudah mengingatnya, bersamaan dengan hari bersejarah SUPERSEMAR.

Melegakan sekaligus juga memberiku kejutan yang indah.
Secara keseluruhan nilai Akang diatas rata-rata, terkategori superior, sama range-nya dengan hasil test Yunda saat masuk SD. Yang juga mengejutkan justru melampaui beberapa point nilai Yunda dulu, aku sedikit terpelongo saat membandingkan hasil keduanya di rumah, hasil Yunda dulu masih ku simpan rapi. Diluar dugaanku.
"Ummi harus yakin, Akang pasti BISA!", begitu komentar suamiku, karena menurutnya aku terlalu mengkhawatirkan kesiapan Akang untuk masuk SD.
Ya ya....aku bukannya tak yakin, tapi aku hanya butuh pengakuan. Nach lho, hoho..... 

Semua pasti 'kan Indah pada Masanya.....


Akang saat test Kesiapan SD, full SMILE.
Pertengahan Februari 2011.
Walaupun memang ada perbedaan umur saat keduanya mengikuti test tersebut, Akang 5 tahun 8 bulan sedangkan Yunda 5 tahun 4 bulan. Meski hanya terpaut 4 bulan berdasarkan pandangan mereka yang ahli dibidang ini, hasilnya akan sangat bermakna. Artinya 2 bulan lagi anak kita test dengan metode yang sama, maka hasilnya akan berbeda, apalagi > 2 bulan, pasti hasilnya akan jauh berbeda. Ada perbedaan bermakna.

Kesimpulan hasil test secara keseluruhan :
Anak sudah matang untuk mengikuti pendidikan SD, 
dengan catatan: melatih motorik halus, terutama kemampuan menulisnya.

Nilai test Akang Hamas sangat menonjol dikemampuan sosial, emosi, kerjasama dan kemandirian. Sesuai menurutku, Akang memang terlihat sangat PeDe saat mengikuti serangkaian test, dalam keseharian Akang juga memang ramah dan tidak malu-malu. Akang sangat mudah beradaptasi dengan lingkungan yang baru.  Saat test ini, Akang ngajinya sampai IQRO' 3 dan hampir bisa membaca. Berhitung yang sederhana sudah mampu. Konsentrasi juga sudah jauh lebih baik.
Begitulah, Bunda gurunya sering cerita sambil tertawa berderai tentang ngaji atau bacanya Akang yang semaunya, kalau Akang lagi senang bermain, maka ngaji dan baca A Ba Ca-nya hanya mau sebaris. Boro-boro sehalaman, kadang belum tuntas sebaris Akang sudah kabur. Dan kalau di rumah, Akang mana mau belajar ulang.
 "Tadi sudah di sekolah", katanya.
Dan alasan utamanya aku juga tak merasa Akang harus cepat bisa membaca. Sungguh tidak ada target untuk itu, biarlah sesuai inginnya sendiri.
"Buatku jauh lebih penting berjuang menanamkan kepada Nanda, agar gemar membaca, senang belajar, suka buku dan cinta menghafal Al Qur'an".
Yunda saat test yang sama dengan Akang,
pada Februari 2009.

Sementara dulu Yunda dalam bidang yang sama justru mendapat nilai rata-rata atau standart, nilai Yunda besar dalam kemampuan akademik, kognitif atau intelegensianya. Juga sangat sesuai menurutku, Yunda saat itu masih sangat pemalu. Tapi Yunda sudah mahir membaca dan berhitung. Yunda bisa membaca dengan lancar saat umurnya belum lagi 5 tahun dan saat umurnya baru 5 tahun 2 bulan, Yunda sudah tamat IQRO' 6 dan langsung dinyatakan bisa lanjut Al- Qur'an, pertama diangkatannya. Alhamdulillah....jujur tak begitu serius kuajari, tapi memang Yunda sangat berminat dalam bidang ini, Yunda selalu minta diajari baca dan ngaji sepulang sekolah baik kepadaku maupun pada Abi dan bahkan Mbaknya. Jadi kadang sehari bisa berlembar-lembar Yunda dapatkan di rumah juga di sekolah, tak ada yang menyuruh, Yunda bahkan enjoy dan menikmatinya.

Kisah Yunda tentu berbeda, buatku biarlah semua teori mengatakan tak baik buat anak terlalu cepat belajar calistung, tapi ada yang lebih utama menurutku. Minat dan inginnya anak. Jadi tetap orangtua hanya memfasilitasi saja.

Sepintas kilas tentang teori mengajari anak calistung yang pernah kubaca :

Jika anak belajar membaca pada usia 4-7 tahun, maka bagian otak yang akan dipakai adalah belahan otak kanan. Belahan ini membuat anak mengenali apa pun sebagai gambar, termasuk huruf dan angka. Saat diperkenalkan pada sebuah kata, anak akan mengingat huruf pertama dan huruf terakhir, serta panjang dan bentuknya secara umum – dan tergambarlah kata itu di benaknya.

Kelemahannya, kalau cara membaca dengan otak kanan itu terpatri di pola pikir anak, di kemudian hari ia akan mengalami berbagai problem belajar. Sebab, anak jadi terbiasa melihat kata sebagai gambar. Ia melihat huruf pertama, huruf terakhir, panjang dan bentuknya lantas menebak “kata apa itu?”. Kata BURUK bisa dibaca BUSUK atau BULUK. Jika Anda pampangkan kata ARJOLI ia akan membacanya sebagai ARLOJI tanpa sadar bahwa ia telah salah mengeja. Kata-kata seperti SIAP, SOP, dan SUAP atau SURAT, SARAT, dan SIRAT akan terlihat sama saja.

Membaca via otak kanan oke-oke saja untuk kata-kata pendek, tapi akan sangat melelahkan untuk kata yang panjang, apalagi kalimat. Anak-anak yang membaca dengan belahan otak kanan pasti bakal kewalahan setelah membaca beberapa alinea. Lagipula, karena sibuk membunyikan kata, mereka tak bisa menangkap makna utuh dari suatu bacaan. Tidak ada imaji mental yang timbul sementara mereka membaca buku cerita. Ini akan membatasi pemahaman menyeluruh mereka. Akibatnya, saat harus meringkas atau melaporkan isi bacaan, mereka cenderung mencontek atau menyalin teks apa adanya. Karena pusat membaca di otak kanan melihat huruf dan angka sebagai gambar, cara belajar membaca terbaik untuk usia 4-7 tahun adalah menghubungkan huruf atau angka dengan gambar-gambar. Misalnya, huruf “M” bisa diwakilkan oleh gambar dua puncak gunung dengan lembah di tengahnya. Contoh lain termasuk menggambar  seekor katak untuk huruf “K”, seekor badak untuk huruf “B” atau wafer untuk huruf “W”.

Kita juga belajar mengenalkan bunyi huruf dengan mengaitkannya ke benda nyata, misalnya bahwa bunyi “M” adalah bunyi pertama dari kata “Mama”. Tapi cara ini tidak bisa dipakai untuk membuat anak hafal bentuk hurufnya. Dari sudut ilmu perkembangan, sangat tidak masuk akal mengharap anak hafal bagaimana menulis huruf B dengan bilang, “Babi, Nak, babi!” karena huruf B sama sekali tidak mirip dengan babi, atau huruf A dengan apel, dsb.

Tetapi untuk belajar membaca secara formal, masih perlu dipenuhi dua faktor lain. Pertama, berkembangnya pusat baca di belahan otak kiri. Ini rata-rata terjadi usia 7-9 tahun (pada anak perempuan bisa lebih cepat, sementara pada anak lelaki bisa lebih lambat, sekitar umur 10-12 tahun). Pusat membaca di otak kiri inilah yang menyanggupkan anak-anak untuk belajar membaca secara fonetis (dari huruf ke huruf). Sekarang mereka dapat mengingat lebih akurat bagaimana mengeja kata-kata.
Belahan otak kanan menyanggupkan anak membaca lewat ingatan visual, sementara belahan otak kiri dengan metode fonik (membunyikan kata dari huruf ke huruf). Membaca dengan ingatan visual sangat efisien untuk kata-kata pendek, sementara metode fonik efisien untuk kata-kata panjang. Jika kedua belahan otak itu telah berkembang dan saling terhubung, anak bisa mengakses keduanya secara bersamaan. Akibatnya, anak akan mampu membaca kata pendek maupun panjang dengan efisien.

Bagaimana kita tahu belahan otak kanan dan kiri telah saling terhubung (integrasi bilateral)? Cobalah tes kemampuan mereka melakukan cross-lateral skip: apakah mereka bisa mengayunkan kaki kiri dengan tangan kanan atau kaki kanan dengan tangan kiri berbarengan tanpa berpikir atau berkonsentrasi. Sebab gerakan-gerakan tubuh bagian kanan terhubung dengan belahan otak kiri, sementara gerakan-gerakan tubuh bagian kiri terhubung dengan belahan otak kanan. Kalau anak dapat menggerakan tangan dan kaki yang berseberangan bersama-sama, berarti belahan otak kanan dan kiri sedang “ngobrol” atau terhubung satu sama lain. Kalau anak hanya bisa mengayunkan tangan dan kaki yang sama (homolateral skip), berarti mereka belum siap membaca, karena mereka belum bisa mengakses kedua belah otak secara simultan.

Kemampuan mengakses secara simultan pusat baca di belahan otak kiri dan kanan memudahkan proses membaca anak. Sembari membaca, ia juga bisa menciptakan imaji visual dalam benaknya tentang isi bacaan sebab ia tidak terpaku pada kegiatan mengeja. Alhasil, saat diajak berdiskusi atau disuruh menceritakan kembali, mereka mampu menguatakannya dengan kata-kata mereka sendiri. Mengapa? Karena imaji itu hidup dalam otak mereka.  Mereka jadi lebih mudah memahami makna di balik cerita dan buku yang mereka baca. Belajar mengeja pun akan jadi lebih mudah.

Kembali ke test kesiapan masuk SD. Lain Akang, lain pula Yundanya. Dan jujur saja, aku bukan orang yang terlalu suka dengan test-test serupa ini, lebih kepada hanya mengikuti standar prosedur saja. Sebab menurutku yang lebih berkompetent menentukan si-anak siap masuk SD atau tidak sebenarnya adalah Ibunya. Dan sejujurnya menurutku tahun ajaran ini, Akang memang sudah siap masuk SD. Kesimpulan ini sudah melewati serangkaian proses yang cukup panjang setelah sebelumnya aku justru sangat ketar-ketir dengan perkembangan sekolah Hamas, bukan tidak beralasan, tapi memang kisah awal masuk TK-nya yang justru melatarbelakangi semua ini.

Akang yang ramah dan periang.
Akang saat umur 3 tahun, di TK A.
Akang 3 tahun pada Juni 2008, saat itu Yunda sudah TK B. Akang suka merasa kesepian dirumah, saat Yunda sekolah ia kerap ingin ikut dan ini terjadi sejak setahun sebelumnya saat Yunda masih TK A. Akhirnya kami (Aku dan Abinya) bersepakat memasukkan Akang ke playgroup. Playgraup Bina Ilmi, satu atap dengan TKIT-nya Yunda.
Selesai? Ternyata tidak. Jadwal playgroup yang hanya 3 pekan sekali dan masuknya yang jam 8 ternyata membuat Akang protes. Akang ingin sekolahnya sama dengan Yunda, saat itu mungkin aku yang kurang optimal mengkondisikannya. Akhirnya Akang dalam tahun ajaran itu juga pindah langsung ke TK A, lewat lobby dengan Kepala Sekolah TKIT yang memang dekat denganku, dengan pertimbangan ya sudah nanti kan TK A-nya bisa 2 tahun, toch sama juga di TK A banyak bermainnya. Akang enjoy, kamipun lega.

Namun sayangnya semua tak seindah yang kami bayangkan, saat tahun ajaran berikutnya Akang ngambek mau langsung ke TK B, padahal usianya baru 4 tahun. Akang tidak mau masuk ke kelas TK A, kasihan melihatnya. Padahal di TK B, suasana dan kurikulumnyasudah dikemas untuk persiapan masuk SD. Perlu waktu dan tenaga ekstra membujuknya, dan tak juga membuahkan hasil. Aku dan suami akhirnya menjajaki tentang peluang Akang dipindahkan ke Sekolah Alam dengan pertimbangan karakter Akang yang sangat suka berpetualang, alam dan kaya gerak. Persiapan orientasi kami kemas, karena syarat masuk sekolah tersebut harus ikut uji coba dulu, salah satunya juga untuk menentukan apakah anak kerasan atau tidak. Aku sampai izin kerja, tugas-tugas suamiku dilimpahkan, Yundapun ikutan izin sekolah. Jadilah hari itu kami mendampingi Akang. Seru, menyenangkan dan sangat berkesan. Akangpun sangat menikmatinya. Tapi semua ini ternyata tak membuat Akang mau pindah sekolah, Akang hanya mau kelasnya, TK Bina Ilmi seperti Yunda dulu. Akang tidak mau ganti bunda, itu juga alasannya. Kamipun tak bisa berkilah lagi.

Bersama Abi di Sekolah Alam Palembang.
( S A P A )
SAPA, saat Akang uji coba.
Singkat cerita Akang akhirnya masuk TK B, sesuai keinginannya. Dan setahun Akang di TK B ini adalah massa-massa yang sulit buatku, aku melobby semua Bundanya untuk tak menuntut Akang duduk manis di kelas, biarlah Akang tetap enjoy bermain, tak ada beban belajar untuknya. Dan pada Akang, aku sering mengajaknya cerita atau sekedar ngobrol untuk meyakinkannya bahwa Akang baru 4 tahun, berbeda dengan teman-teman sekelas Akang yang sudah 5 tahun bahkan 5 tahun lebih. Aku ingin Akang faham, bahwa tahun ajaran depan saat semua teman sekelasnya masuk SD, saat itulah Akang baru 5 tahun dan baru pas untuk ada di TK B. Dan semua sesuai yang kuperkirakan, walaupun di kelas Akang tak mengganggu yang lain tapi Akang belum siap terlibat disemua aktivitas belajar. Saat temannya belajar baca, Akang sibuk mewarnai, saat temannya belajar hitungan sederhana, Akang asyik main lego atau menggambar. Syukurnya semua bunda gurunya mendukung. Akhirnya saat terberat yang kubayangkanpun tiba. Perpisahan Akang dengan teman-temannya yang masuk SD. Apalagi banyak diantara temannya tetap di SDIT Bina Ilmi, artinya mereka masih sering bertemu.

Awal-awal tahun ajaran saat Akang TK B untuk kedua kalinya, aku sering izin kerja untuk mengantarnya sekolah. Menguatkannya atau sesekali menghiburnya bila saat Akang bertemu teman kelasnya yang sudah SD, Akang memang tidak protes tapi aku menangkap rasa yang lain dari ceritanya, rasa yang tak jua bisa kuberi nama.

"Ummi, tadi Akang ketemu Fadil" 
atau "Mi, tadi Akang lihat Haikal lho di SD" 
atau pernah juga "Ummi, tadi temen-temen Akang main ke TK lho...."

SDIT dan TKIT Bina Ilmi ada dilingkungan yang sama, hanya beda halaman saja.
Ach....adakalanya rasa bersalah yang muncul, apakah aku yang telah mengambil keputusan yang keliru? Tapi saat sharing dengan beberapa kawan yang terlanjur memasukkan anaknya SD saat usia 5 tahun (rata-rata anaknya laki-laki), betapa justru sangat rumit dan banyak masalah yang timbul. Saat kelas 3 atau 4 SD seperti jenuh sekolah. Dan kemandirian juga emosinya sangat kacau. Mereka selalu harus diingatkan, dan belum bisa diajak belajar serius, maunya main melulu. Dengan banyaknya masukan tersebut aku akhirnya mengkondisikan Akang untuk tidak segara masuk SD diusianya yang baru 5 tahun.

Ternyata masa sulit dan penuh dengan keruwetan itupun berlalu. Akang mulai menikmati kelas TK B keduanya. Dan sesuai dengan dugaan dan harapanku, saat inilah Akang baru benar-benar siap berada di TK B. Akang tertarik dan mau terlibat dalam semua aktivitas belajar di kelasnya. Senang rasanya melihatnya bersemangat saat bercerita tentang teman-teman sekelasnya yang sekarang. Emosinya sudah terkendali, kemandriannya juga sudah semakin baik. Alhamdulillah....sepunuh syukurku ya Allah, sang penggenggap semua hati. Tetapkanlah hati kami untuk menjadi pembelajar sejati.

Akang siap masuk SD.
Akang pasti Bisa.....
Sepenuh do'a untukmu Nanda.
Kami akan selalu berjuang untuk berikan yang terbaik. 
Terus melaju meraih mimpi-mimpi.
Genggam dan gapailah mimpi terindahmu.
Ingatlah Nanda, tak ada kata berhenti bermimpi
Walau tampak tak mungkin untuk diraih, tapi itulah mimpi
....seperti apa kau bermimpi, maka seperti itulah kau akan menjadi.....

Masih banyak yang ingin kubagi, mungkin nanti dilain waktu.
Tentang serba serbi pendidikan yang kudambakan, tentang dunia belajar yang penuh warna,  tentang homeschooling atau aku lebih sepakat menyebutnya long life education.

~sebuah catatan yang tertunda~

5 komentar:

Lyliana Thia mengatakan...

cara belajar membaca terbaik untuk usia 4-7 tahun adalah menghubungkan huruf atau angka dengan gambar-gambar.--> Mba... berarti Metode Glenn Doman itu nggak efektif dong? malah bikin kacau kah...?

Daaan... oh ternyata begitu ceritanya Akang...
hehehe... Vania kmrn udah kudaftarin di Playgroup TNI AU, Mba Keke... tapi mudah2an masalah Akang nggak terulang di Vania, kan Vania nggak punya kakak... hehehe... ada sih anak tetangga yg lebih besar, ingin sekolah bareng, tp kan beda sekolah... mudah2an gak masalah yah Mba...

dan ternyata Akang siap menerima pelajaran sesuai usianya yah... lalu anak2 yg "kecepetan" kenapa malah dibanggakan orangtuanya yah? padahal kan blm tentu berhasil... :-)

Mbaaa... makasih banyak sharing nya yaa... berguna banget... :-)

Artineke A. Muhir mengatakan...

Metode Glenn Doman menurutku bagus kok...teknik or teori asalkan itu disuka dan sesuai dengan anak, maka menurutku baik untuk dipakai :)
Ya....kisah Akang hanya sebuah kasus, banyak kok anak yang cepat sekolahnya tapi oke-oke aja, jadi kembali tergantung anak yang bersangkutan.
Tugas kita sebagai orangtua menilainya....jangan sampai ada pemaksaan atau eksploitasi yang menurut orangtua tak apa-apa tapi ternyata si anak sangat tidak nyaman.

Akang siap masuk SD diusianya yang pas 6 tahun tepat bulan Juni nanti, mohon do'anya ya....

~Semua Indah pada Masanya~

Tenang Thia, Vania akan baik-baik saja :)
Vania kan anak perempuan....pasti akan lebih mudah konsentrasi :)
Salam buat Vania, selamat belajar di Playgroup ya....

Anonim mengatakan...

Salam kenal ae...

Artineke A. Muhir mengatakan...

Salam kenal juga....thanks kunjungannya :)

Anonim mengatakan...

anak saya masih kecil, 2 taun 3 bulan, jadi blom bisa komen tentang masalah ini :D