Seketika Dodo berlari pulang saat melihat mobil Papanya memasuki mulut gang kompleks. Papa pulang artinya Dodo harus ada di rumah. Ya sejak masuk SD Dodo memang harus selalu belajar dan ikut privat ini dan itu. Ach... sebenarnya Dodo senang Papa pulang tapi bila ingat serunya permainan bersama kawan-kawannya yang belum selesai Dodo jadi kesal pada Papanya.
Bobo anak laki-laki yang pemberani, diusianya yang belum 7 tahun sudah banyak yang bisa dilakukannya sendiri. Pergi sekolah sendiri, berangkat les juga sudah bisa dengan sepedanya sendiri. Kalaupun sesekali ia terjatuh maka bisa dipastikan ia tak akan menangis. Karena ia selalu ingat pesan Ayahnya bahwa anak laki-laki tak boleh menangis, ia harus kuat. Tapi walaupun begitu ia enggan bermain bola kaki bersama kawan lainnya. Ia sering ditertawakan karena tendangannya kurang macho, alhasil Bobo lebih nyaman bergaul dengan anak-anak perempuan yang selalu suka padanya, kata mereka Bobo anak yang pandai membetulkan mainan dan suka menolong. Lama-kelamaan suara dan tingkah laku Bobopun ikut kemayu.
Lain halnya dengan Maya dan Naya, dua kakak beradik ini senang sekali bermain sambil bercengkrama, riuh rendah suara tawa mereka bila senang bermain, apalagi bila sedang berebut mainan. Serunya lagi bila Ibupun turut serta, sedangkan Ayah? Ayah sibuk, kalau di rumah bawaannya capek melulu. Bunda sering bercerita betapa tugas Ayah di kantor sangatlah berat dan semua dilakukan Ayah demi membahagiakan mereka. Tapi apakah bahagia bila dalam setiap permainan tak pernah ada Ayah bersama mereka. Dan satu lagi yang kadang membuat mereka sedih, bila ada Ayah di rumah mereka harus bicara pelan-pelan, takut Ayah marah. Deheman Ayah sedikit saja dari kamar sudah membuat keduanya diam seribu bahasa.
Bermain sungguh sangat disukai semua anak. Bahkan banyak penelitian sudah membuktikan bahwa bermain dapat meningkatkan kecerdasan pada anak. Dangan bermain anak dapat meningkatkan keterampilan fisik dan motoriknya misal dengan permainan balok-balokan. Perkembangan kognitif juga bisa ditingkatkan dengan mainan serupa, melalu pengenalan bentuk, ukuran juga warna. Bermian juga dapat meningkatkan keterampilan sosial, memupuk perkembangan emosi dan mengasah daya imajinasi.
Thomas G. Power dalam bukunya Play and Exploration in Childrend and Animal mengatakan:
Mari kita belajar dari 'Ali bin Abi Thalib tentang fase perkembangan pada anak. Beliau membaginya kedalam 3 tahapan perkembangan, yaitu:
Anak yang baru lahir dan yang baru masuk SD umumnya berusia 6-7 tahun, artinya masih dalam tahap 1, maka alangkah baiknya bila mereka diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk bermain. Anak keduaku masih dalam masa ini juga. Sementara si sulung sudah difase latihan berdisiplin. Unik dan seru kisah mempola mereka. Tapi yang kami rasakan disini adalah perlunya konsistensi. Yang terpenting dalam hal ini adalah keteladanan. Karena ini sebuah proses, tak bisa sekali jadi.
Ada masanya anak lebih suka melakukan permainan pribadi. Dalam permainan pribadi ini, ada jenis permainan tradisional yang dibuat sendiri atau permainan modern. Misalnya bermain puzzle atau games di komputer, sejauh itu didampingi dan ada aturan yang disepakati bersama, silakan saja. Untuk anak-anak kami, aku dan suami sepakat boleh main games pada hari libur dan maksimal hanya 2 jam saja. Itupun dengan pengawasan. Anak-anak memang selayaknya dikenalkan pada kecanggihan tekhnologi, dan tekankan bahwa kita yang harus memegang kendalinya bukan sebaliknya, tekhnologi canggih yang mengendalikan kita alias kebablasan. Na'uzubillah...
Tapi aku bersyukur sekali anak-anakku tumbuh menjadi anak-anak yang cerdas dan kreatif, Hamas, anak keduaku malah sering menemukan mainan-mainan sendiri, misalnya bawa potongan-potongan bambu atau kayu sepulang bermain yang semuanya diberi nama sendiri. Mereka juga senang sekali membuat sendiri misalnya mainan dari adonan tepung dan pewarna yang diberi sabun lalu dicampur air, clay istimewa kata mereka.
Pentingnya Sosok Ayah dalam Permainan.
Bila kita sudah sepakat bahwa bermain itu mencerdaskan, dan dunia anak adalah bermain. Maka ada satu kenyataan lagi yang penting untuk kita ketahui, keterlibatan orangtua dalam mencerdaskan anak-anak amatlah besar perannya. Orangtua bijak akan meluangkan waktu terbaiknya untuk mengajak anak bermain bersama disela tugasnya yang padat. Orangtua dalam hal ini adalah Ayah dan Ibu. Tidak cukup hanya Ibu saja. Sosok Ayah amat penting dalam menanaman aqidah. Ini adalah salah satu kewajiban utama seorang Ayah. Lalu bagaimana semua ini bisa terlaksana bila sosok Ayak tak dekat dengan keseharian anak. Apa yang akan mereka ingat kelak tentang sosok Ayah hebat, bila Ayah tak pernah bermain bersama mereka, tak ada cerita Ayah yang pernah memenangkan permainan bersama mereka. Bahwa Ayah adalah sosok yang menyeramkan, menakutkan yang justru mereka rekam.
Ironis sekali, apabila saat pencarian jati dirinya, anak justru tak mendapatkannya dari sosok Ayah, maka mereka akan mencari sosok lain yang bisa jadi tak layak. Bila sudah begini apa yang akan kita katakan. Ayah tak pernah ada saat anak-anak butuh berbagi, Ayah tak jadi sosok yang menentramkan galau kanak-kanak mereka. Sejak kecil mereka hanya sering berinteraksi dengan Ibu dirumah, Ibu yang mengajari mereka sabar, kuat dan berani. Hanya Ibu yang bermain bersama mereka. Cukupkah? Ya mungkin lebih dari cukup. Terlebih sejak memasuki usia playgroup banyak sosok guru-guru karismatik yang juga mengajarkan anak kita banyak nilai termasuk tentang indahnya persahabatan. Guru-guru bijak yang juga lekat dihati anak sampai usia SD kebanyakan perempuan. Meski berjiwa perkasa tapi mereka kurang bisa mencontohkan bagaimana menendang bola seperti Maradona atau Pele sang legendaris, bahkan cara mereka mengepalkan tanganpun persis seperti Ibu di rumah, kurang macho. Lalu siapa yang salah bila kelak mereka mantap untuk menjadikan *lga S*p*tra atau Iv*n G*naw*n sebagai figur yang digugu dan layak ditiru?
Sosok Ayah juga tetap hadir pada diri Sang Idola, Rasulullah Muhammad, SAW yang yatim sejak masih dalam kandungan, sosok Ayah yang terwakili oleh Sang Kakek dan dilanjutkan oleh Pamanda Abu Thalib. Dan anak yatim disekitar kita, semoga juga ada sosok Ayah disamping mereka, bila belum maka mari ambil peran tersebut. Menjadi Ayah yang membanggakan sepanjang masa. Hingga saatnya kelak, mereka menjadi Ayah-ayah idola yang pertama mengajari anak-anaknya memakai sarung, berlari bersama untuk berangkat ke Surau, membenarkan bacaan Al Qur'an anak-anaknya karena dalam hatinya selalu hidup sosok Ayak yang serupa itu, yang dulu mengajarkan mereka persis seperti yang ingin mereka wariskan pada generasi penerus selanjutnya.
Thomas G. Power dalam bukunya Play and Exploration in Childrend and Animal mengatakan:
"Dalam bermain anak juga belajar bagaimana dan kapan mengekspresikan atau mengendalikan emosi mereka".Adapun tentang imajinasi, si hebat Albert Enstein berpendapat:
"Imajinasi lebih penting dari ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan memiliki batas, sedangkan imajinasi bisa terus melingkari dunia".Jadi betapa dahsyatnya efek sebuah permainan bukan? LAntas mengapa masih ada orangtua yang melarang anaknya bermain? Lalu apakah dibiarkan bermain bebas lepas tampa batas? Bagaimana dengan konsep belajar sambil bermain, tentu menyenangkan, tapi bagaimana caranya?
Mari kita belajar dari 'Ali bin Abi Thalib tentang fase perkembangan pada anak. Beliau membaginya kedalam 3 tahapan perkembangan, yaitu:
1. Tahap BERMAIN ( la-ibuhum/ ajaklah mereka bermain ), dari lahir sampai kira-kira 7 tahun.
2. Tahap PENANAMAN DISIPLIN ( addibuhum / ajarilah mereka adab ) dari kira-kira 7 – 14 tahun.
3. Tahap KEMITRAAN ( roofiquhum / jadikanlah mereka sebagai sahabat ) kira-kira mulai 14 tahun ke atas.Ketiga tahapan pendidikan ini mempunyai karakteristik pendekatan yang berbeda sesuai dengan perkembangan kepribadian anak yang sehat. Maka ada baiknya kita coba memperlakukan mereka sesuai dengan sifat-sifat dan tahapan hidupnya.
Anak yang baru lahir dan yang baru masuk SD umumnya berusia 6-7 tahun, artinya masih dalam tahap 1, maka alangkah baiknya bila mereka diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk bermain. Anak keduaku masih dalam masa ini juga. Sementara si sulung sudah difase latihan berdisiplin. Unik dan seru kisah mempola mereka. Tapi yang kami rasakan disini adalah perlunya konsistensi. Yang terpenting dalam hal ini adalah keteladanan. Karena ini sebuah proses, tak bisa sekali jadi.
***
Permainan favorite Anakku.Ada masanya anak lebih suka melakukan permainan pribadi. Dalam permainan pribadi ini, ada jenis permainan tradisional yang dibuat sendiri atau permainan modern. Misalnya bermain puzzle atau games di komputer, sejauh itu didampingi dan ada aturan yang disepakati bersama, silakan saja. Untuk anak-anak kami, aku dan suami sepakat boleh main games pada hari libur dan maksimal hanya 2 jam saja. Itupun dengan pengawasan. Anak-anak memang selayaknya dikenalkan pada kecanggihan tekhnologi, dan tekankan bahwa kita yang harus memegang kendalinya bukan sebaliknya, tekhnologi canggih yang mengendalikan kita alias kebablasan. Na'uzubillah...
Untuk permainan tradisional jujur kami mungkin termasuk yang kurang optimal mengeksplorasinya, padahal aku dan suamiku amat lekat dengan tipe permainan ini. Hanya sesekali kami pernah membuatkan mainan dari pelepah pisang, atau daun ubi kayu, pernah juga aku membuatkan makhkota dari daun nangka atau rangkain rumput ilalang untuk si sulung saat mereka kecil dulu. Selebihnya kami berikan mainan balok-balokan bertuliskan angka dan huruf hijaiyah, atau rupa-rupa rangkaian bersusun dari bahan plastik.
Yang kayak begini masuk mainan tradisional atau modern ya?*nach lho...
Yang kayak begini masuk mainan tradisional atau modern ya?*nach lho...
Permainan dan mainan favorit anak-anakku. |
Dan ada kalanya juga anak lebih memilih bermain dengan teman sebaya atau bercengkrama dengan saudara termasuk orangtuanya. Jujur aku lebih menyukai tipe permainan berkelompok seperti ini. Orangtua bisa melibatkan diri dengan anak saat mereka bermain, antaralain dengan cara; meluangkan waktu untuk bermain bersama, membuat suasana yang menyenangkan di rumah agar anak-anak betah bermain bahkan mengajak kawan-kawannya untuk bermain bersama di rumah, memberikan kesempatan anak bermain bersama dengan teman sebayanya dan ikut terlibat bila dibutuhkan. Point terakhir menegaskan bahwa saat berlangsungnya permainan, bisa saja terjadi konflik, bila sudah mengarah pada menyakiti dan merusak maka orangtua harus ikut menengahi dengan bijak. Yang jelas, aku lebih suka mereka main di luar rumah bersama kawan sepermainan daripada seru main games atau nonton sendiri di rumah.
|
Untuk permainan kelompok anak-anakku punya permainan unggulan, beli dengan kawan suamiku di Lampung, namanya permainan ZAKATI. Subhanallah, konsep permainan yang menstimulasi anak untuk berzakat, infaq dan shodaqoh sejak kecil. Mengajarkan anak untuk pandai berusaha sehingga mampu menjadi pengusaha, bahasa kerennya enterpreneur muslim yang sucses tapi tetap dermawan. Sangat bertolak belakang dengan permainan MONOPOLI yang sudah ada, dimana hanya mengajarkan anak untuk berjiwa monopolist saja. ZAKATI justru menekankan pada kemampuan bertransaksi, memiliki usaha, menyewakan, menjual dan bershodaqoh. Kelebihannya lagi, bermain ZAKATI ini tampa disadari membuat anak-anak kita bisa menghafal nama-nama surat dalam Al Qur'an lho... Walaupun permainan ini mengikuti pola musim mainan, tapi sampai sekarang masih kusimpan rapi. Biasanya anak-anakku paling betah main ZAKATI saat bulan Ramadhan. Menurutku cocok untuk anak usia sekolah. Dibuku panduannya untuk anak 11-18 tahun, tapi kami sudah mencobanya untuk anak-anak diatas 6 tahun sudah bisa main dengan bantuan, jadi mainnya memang sekalian bersama orangtua.
Permainan ZAKATI ini diciptakan oleh seorang dosen Universitas Lampung, Bapak Ageng Sadnowo Repelianto. Harganya 2 tahun lalu sekitar Rp. 60.000,- sedangkan Ramadhan 1432 H yang lalu Rp. 75.000,- plus ongkos kirim. Untuk pembelian bisa menghubungi email: zakati@yahoo.com atau hubungi Cp langsung a.n Bapak Ageng 081540830736.
Saatnya mengubah dunia dengan ZAKATI... |
Bila kita sudah sepakat bahwa bermain itu mencerdaskan, dan dunia anak adalah bermain. Maka ada satu kenyataan lagi yang penting untuk kita ketahui, keterlibatan orangtua dalam mencerdaskan anak-anak amatlah besar perannya. Orangtua bijak akan meluangkan waktu terbaiknya untuk mengajak anak bermain bersama disela tugasnya yang padat. Orangtua dalam hal ini adalah Ayah dan Ibu. Tidak cukup hanya Ibu saja. Sosok Ayah amat penting dalam menanaman aqidah. Ini adalah salah satu kewajiban utama seorang Ayah. Lalu bagaimana semua ini bisa terlaksana bila sosok Ayak tak dekat dengan keseharian anak. Apa yang akan mereka ingat kelak tentang sosok Ayah hebat, bila Ayah tak pernah bermain bersama mereka, tak ada cerita Ayah yang pernah memenangkan permainan bersama mereka. Bahwa Ayah adalah sosok yang menyeramkan, menakutkan yang justru mereka rekam.
Ironis sekali, apabila saat pencarian jati dirinya, anak justru tak mendapatkannya dari sosok Ayah, maka mereka akan mencari sosok lain yang bisa jadi tak layak. Bila sudah begini apa yang akan kita katakan. Ayah tak pernah ada saat anak-anak butuh berbagi, Ayah tak jadi sosok yang menentramkan galau kanak-kanak mereka. Sejak kecil mereka hanya sering berinteraksi dengan Ibu dirumah, Ibu yang mengajari mereka sabar, kuat dan berani. Hanya Ibu yang bermain bersama mereka. Cukupkah? Ya mungkin lebih dari cukup. Terlebih sejak memasuki usia playgroup banyak sosok guru-guru karismatik yang juga mengajarkan anak kita banyak nilai termasuk tentang indahnya persahabatan. Guru-guru bijak yang juga lekat dihati anak sampai usia SD kebanyakan perempuan. Meski berjiwa perkasa tapi mereka kurang bisa mencontohkan bagaimana menendang bola seperti Maradona atau Pele sang legendaris, bahkan cara mereka mengepalkan tanganpun persis seperti Ibu di rumah, kurang macho. Lalu siapa yang salah bila kelak mereka mantap untuk menjadikan *lga S*p*tra atau Iv*n G*naw*n sebagai figur yang digugu dan layak ditiru?
Och... Ayah, mari hadirkan sosok perkasamu dihati anak-anak sebelum semuanya terlambat. Sebelum masa kanak-kanak mereka berlalu, sebelum keceriaan mereka tak terwarnai dengan hadirmu. Mari Ayah hebat, dampingi buah hati kita bermain, ajarkan jiwa kesatria berakhlak syuhada tak hanya sebatas menanamkan jargon:
"Anak laki-laki tak boleh nangis".
"Anak laki-laki tak boleh nangis".
Ayah idola sepanjang masa. |
Mari belajar dari Ibrahim, AS menjadi Ayah yang bijak bestari, hingga lahir generasi pilihan selayak Islmail, AS. Menjadi Ayah juara satu dihati anak. Menjadi Ayah siaga, Ayah yang menemani masa tumbuh mereka, membersamai anak-anaknya dalam banyak permainan. Ayah idola, bukan Ayah yang ditakuti atau yang tak diharapkan kehadirannnya di rumah, seperti ketiga ilustrasi diatas.
Kututup tulisan ini dengan iringan lagu Semua Ayah adalah Bintang karya Neno Warisman di acara Pildacil.
Kututup tulisan ini dengan iringan lagu Semua Ayah adalah Bintang karya Neno Warisman di acara Pildacil.
***
“Artikel ini diikutsertakan pada Mainan Bocah Contest di Surau Inyiak”