Terlahir dari seorang Ibu yang ahli masak, tidak lantas membuatku juga pandai memasak. Ya iya lah, karena memasak itu bukan kemampuan yang bisa diwariskan Aku contohnya. Meski ahli masak, Mamaku belum sempat menurunkan keahliannya saat aku mulai merantau setamat SD dulu. Jadilah aku termasuk yang gelagapan walau hanya disuruh menggoreng telur atau sekedar memasak mie instant. Bersyukurnya aku, tempat 'penitipan' pertamaku dulu sebuah Asrama Putri yang menyediakan makan 3x sehari, mengambilnyapun harus antri dan sudah ada jatahnya. Persis suasana Pesantren yang pernah kulihat.
Singkat cerita sampai SMA tak ada kemajuan dalam kemampuan memasakku, akupun jadi yang tak tertarik untuk belajar seputar masak-memasak. Nanti saja, kalau saatnya tiba, batinku sok yakin. Masuk kuliah, aku kost dengan kawan-kawan yang lebih senang mengolah makanan mentah di dapur mungil kami ketimbang beli nasi bungkus di Warteg. Memasaknyapun bersama-sama, jadi asli seru. Aku ya senang saja, selain keuangan jadi lebih irit, kebersihan dan kesehatannyapun tak diragukan. Walau soal rasa tak usah ditanya, disedap-sedapkan saja Apalagi bila disantap bersama, berkahnya mengalahkan rasa. Dan itu artinya, ada sekelumit ceritaku untuk berkenalan dengan dunia masak-memasak saat kuliah. Sayangnya hanya sekelumit yang tak begitu bermakna.
Selanjutnya saat dipenghujung masa kuliah, ada seseorang yang melamarku untuk dijadikan istri *catat, istri lho ya, bukan tukang masak... Ya aku terima *atas izin kedua orangtuaku tentunya. Karena aku tahu, tak dibenarkan menolak lamaran hanya karena alasan tak pandai memasak bukan? Maka yang sebaiknya kulakukan (kelak) adalah memantaskan diri belajar memasak demi memanjakan lidah orang yang sudah memilihku menjadi pendamping hidupnya, cieee... Niat awalnya begitu, teramat mulia. Tapi ternyata, aktivitas perkuliahanku sangat tidak mengizinkan, jadilah kami sering menyantap makanan yang kami beli di Warteg. Sesekali memasak saat di rumah Ibu (mertuaku), tepatnya sebatas jadi pemerhati dan pengamat sejati. Ibu mertuaku orang Palembang asli, punya gelar Nyayu malah, hobby dan memang pintar memasak, juga rajin membuat panganan khas Palembang untuk keluarga. Banyak ilmu memasak yang aku sadap dari beliau.
Setamat kuliah, saat sulungku berusia > 6 bulan dan waktunya diberikan makanan pendamping ASI, sebagai Ibu yang ingin memberikan asupan bergizi pada ananda. Maka mau tak mau aku (wajib) rajin turun ke dapur, sebatas membuatkannya nasi tim. Belajar variasi aneka makanan bayi, lewat buku-buku resep, yang tujuan utamanya membebaskan ananda dari MPASI instant yang sekarang banyak tersedia dipasaran. Dan saat Yunda berumur 1 tahun, masa dimana ia bebas makan makanan yang sama dengan kami para orang dewasa, aku baru bergiat belajar memasak. Walau penerapannya belum rutin, karena setamat kuliah aku balik lagi tinggal bersama orangtuaku di Way Kanan, Lampung.
Baru saat tinggal di rumah sendiri sekitar tahun 2007 akhir, niatku untuk rajin memasak kesampaian. Belajar masak lebih giat dari sebelumnya. Tapi bergiat atau rajin belajar memasak tidak serta merta membuatku ahli memasak, sering juga gagal total. Masak ager saja kadang kebanyakan air. Buat Cah Kangkung, warnanya jadi hitam tak menarik, kadang bingung sendiri aku. Perasaan petunjuk dari buku resep sudah aku ikuti satu-satu, tapi kok masih aneh juga rasanya. Tak bosan mencoba dan tak malu bertanya. Itu kata kunci yang aku pakai dalam belajar memasak. Akhirnya satu hal yang aku catat, bahwa justru karena terlalu open book, masakanku jadi kurang mantap.
Dulu, kadang (sering malah) aku jadi bahan tertawaan Ibu-ibu bidan di Puskesmas gara-gara bertanya berapa gram gulanya untuk membuat Cake Pisang. Kata mereka, ndak usah ditimbang, pakai takaran gelas atau sendok saja, atau dikira-kira saja. Akupun nyengir. Adik ketigaku yang lulusan Akademi Gizi, adalah salah satu 'guru' yang kerap kutelfon kalau sedang mentok mencoba resep. "Buat puding aja ribetnya Yuk", celetuknya suatu ketika. Tapi ya itulah diriku beberapa tahun lalu, saat umur sudah menginjak kepala tiga. Memang perkara umur juga bukan patokan seseorang jadi piawai memasak.
Akupun terus belajar. Gemes juga sich kalau hasilnya hancur tak sesuai yang kubayangkan, tapi tidak membuatku kapok, apalagi mundur. Justru karena semuanya tak pernah membuatku kapok dalam berkarya, mengolah aneka masakan favorite keluarga, kini aku bisa merasakan sensasinya memasak sendiri bahkan untuk makanan yang kata banyak orang "Kenapa mesti repot, tinggak beli aja, murah kok harganya, sebentar juga dapat". Dan cerita ini setelah melewati waktu bertahun-tahun dalam berproses, bahkan hampir menyamai usia pernikahanku yang menginjak tahun kesebelas.
Dan kini saat anak-anakku SD, aku makin keranjingan masak. Sekedar mampu menyiapkan bekal untuk mereka bawa ke Sekolah saja sudah membuatku luar biasa bangga. Menyusun variasi menu yang spesial *menurutku lho ya... buat keluarga menjadi sebuah tantangan tersendiri buatku.
Belum lagi membuat cemilan yang mudah, murah lagi sehat sangatlah kusenangi. Sebut saja kue Srikaya, aku lebih suka buat sendiri ketimbang beli, meski kalau beli juga enak dan murah. Kalau buat, telurnya aku bisa pakai telur bebek, Hamas, putraku kadang alergi telur ayam. Cetakannyapun aku pakai porselen, kalau beli jadi, cetakannya pakai plastik. Resep pembuatan Srikaya ini pernah kubagi disini, saat Ramadhan lalu.
Donat Kentang dengan resep kolosal (kuno alias asal) pernah kupertunjukkan di blog kesayanganku ini. Walau penampilannya tak begitu meyakinkan tapi kata anak-anakku, lebih enak dari si DD yang terkenal itu Meski saat membuatnya lama dan berpeluh ria, tak seimbang pula dengan waktu untuk menghabiskannya, tapi sungguh, melihat binar mata anak-anakku saat menyantap hasil olahanku sungguh membuat hatiku berbunga-bunga, bahagia. Orang yang bahagia otomatis sehat kan ya, jadilah ini point pertama yang membuktikan pernyataanku, bahwa memasak itu menyehatkan.
Demikian juga Somay Labu, pernah kupertontonkan disini. Bahkan aku sudah cukup PeDe membuat untuk skala yang lebih besar, yang menghadirkan orang belasan, saat itu ada acara pengajian.
Setamat kuliah, saat sulungku berusia > 6 bulan dan waktunya diberikan makanan pendamping ASI, sebagai Ibu yang ingin memberikan asupan bergizi pada ananda. Maka mau tak mau aku (wajib) rajin turun ke dapur, sebatas membuatkannya nasi tim. Belajar variasi aneka makanan bayi, lewat buku-buku resep, yang tujuan utamanya membebaskan ananda dari MPASI instant yang sekarang banyak tersedia dipasaran. Dan saat Yunda berumur 1 tahun, masa dimana ia bebas makan makanan yang sama dengan kami para orang dewasa, aku baru bergiat belajar memasak. Walau penerapannya belum rutin, karena setamat kuliah aku balik lagi tinggal bersama orangtuaku di Way Kanan, Lampung.
Baru saat tinggal di rumah sendiri sekitar tahun 2007 akhir, niatku untuk rajin memasak kesampaian. Belajar masak lebih giat dari sebelumnya. Tapi bergiat atau rajin belajar memasak tidak serta merta membuatku ahli memasak, sering juga gagal total. Masak ager saja kadang kebanyakan air. Buat Cah Kangkung, warnanya jadi hitam tak menarik, kadang bingung sendiri aku. Perasaan petunjuk dari buku resep sudah aku ikuti satu-satu, tapi kok masih aneh juga rasanya. Tak bosan mencoba dan tak malu bertanya. Itu kata kunci yang aku pakai dalam belajar memasak. Akhirnya satu hal yang aku catat, bahwa justru karena terlalu open book, masakanku jadi kurang mantap.
Dulu, kadang (sering malah) aku jadi bahan tertawaan Ibu-ibu bidan di Puskesmas gara-gara bertanya berapa gram gulanya untuk membuat Cake Pisang. Kata mereka, ndak usah ditimbang, pakai takaran gelas atau sendok saja, atau dikira-kira saja. Akupun nyengir. Adik ketigaku yang lulusan Akademi Gizi, adalah salah satu 'guru' yang kerap kutelfon kalau sedang mentok mencoba resep. "Buat puding aja ribetnya Yuk", celetuknya suatu ketika. Tapi ya itulah diriku beberapa tahun lalu, saat umur sudah menginjak kepala tiga. Memang perkara umur juga bukan patokan seseorang jadi piawai memasak.
Akupun terus belajar. Gemes juga sich kalau hasilnya hancur tak sesuai yang kubayangkan, tapi tidak membuatku kapok, apalagi mundur. Justru karena semuanya tak pernah membuatku kapok dalam berkarya, mengolah aneka masakan favorite keluarga, kini aku bisa merasakan sensasinya memasak sendiri bahkan untuk makanan yang kata banyak orang "Kenapa mesti repot, tinggak beli aja, murah kok harganya, sebentar juga dapat". Dan cerita ini setelah melewati waktu bertahun-tahun dalam berproses, bahkan hampir menyamai usia pernikahanku yang menginjak tahun kesebelas.
Dan kini saat anak-anakku SD, aku makin keranjingan masak. Sekedar mampu menyiapkan bekal untuk mereka bawa ke Sekolah saja sudah membuatku luar biasa bangga. Menyusun variasi menu yang spesial *menurutku lho ya... buat keluarga menjadi sebuah tantangan tersendiri buatku.
Penampakan bekal sekolahnya Yunda. |
Bebas pewarna, kuning telur bebeknya khas. |
Donat Kentang hasil kreasiku. |
Somay Labu ala dapurku. |
Boleh sekalian diperiksa ulasan sederhanaku tentang membuat JASUKE (Jagung Susu Keju) yang bikin anak-anakku jera beli jadi, mending masak sendiri kata mereka, muraaaahh. Belum lagi menghias bekal sekolah anak-anak jadi lebih hebat setelah tahu istilah ONIGIRI dari buku resep hadiah GIVEAWAY: PRIBADI MANDIRI. Semuanya melengkapi cerita memasakku yang makin cemerlang *lagi-lagi menurutku lho ya...
Terus, dengan segala ceritaku memasak saat ini, terkategori ahli memasakkah aku? Tergantung dari sudut pandang mana kita menilainya. Ahli kalau dibandingkan aku belasan tahun yang lalu. Namun yang jelas aku belum PeDe lah kalau harus ikut bertarung di laga ala Master Chef Indonesia seperti di TV-TV itu. Jauuuuuuhhhh... Nach kalau sekarang aku berani tambil ikut lomba masak lewat tulisan itu sangat spektakuler dong *padahal mach PeDe gini karena rasanya tak akan dicicipi, ditambah hadiahnya itu lho yang bikin mupeng, pizzzttt, hiiihiiii...
Tapi paling tidak, sekarang aku bisa lebih selektif lagi memilih makanan yang bebas pengawet, pewarna dan perasa buatan yang efek samping sudah sering menghebohkan itu. Sebab saat ini di Negeriku Indonesia tercinta yang mayoritas muslim ini, mendapatkan makanan yang HALAL itu lumrah namun makanan yang TOYYIB itu butuh perjuangan. Meski dari beberapa yang pernah kudengar dari pemberitaan ada juga pedagang nakal yang tega menipu konsumen dengan menyatakan HALAL tapi ternyata sebaliknya. Semoga ini hanya ulah segelintir orang dan itupun segera bertobat.
Adapun tentang makanan yang TOYYIB, sejauh ini aku meyakini lebih aman bila makanan itu kita masak dan olah sendiri. Misalnya saja kisah Pempek CS (olahan serba ikan) khas Palembang, di beberkan pada beberapa acara TV banyak dicampur bahan pengawet berbahaya sejenis formalin, atau Cukanya yang diberi semacam arak agar awet dan terasa enak, jujur sebenarnya sebelum liputan itu gempar, di Kantorku BTKL pernah mengadakan uji laboratorium dan terbukti banyak pedagang nakal yang lupa pada pentingnya sebuah keberkahan dalam mengais rizky.
Maka sementara ini, untuk melakukan pengamanan atau bahasa kerennya penyehatan pangan keluarga, mau tak mau aku (seolah) dituntut untuk lebih rajin lagi membuat makanan khas Palembang yang sangat digemari oleh penghuni rumah, terutama suamiku, yang sejak kecil memang lidahnya sudah dimanjakan dengan ragam makanan olahan serba ikan tersebut. Akupun mengunakan jurus "tak bosan mencoba dan tak malu bertanya", sebuah kata kunciku yang selalu kupakai dalam memasak.
Ternyata sangat mujarab. Saat ini membuat cuka sendiri aku sudah bisa sampai pada derajat pas banget *Hhayooo menurut siapa?
Pempek? Awalnya memang sering kekerasan, atau seperti ada yang kurang. Tapi sekarang ragam pempek sudah sering aku cobakan dan tak kalah dengan yang ada dipasaran. Dijamin bebas pengawet dan bahan kimia berbahaya lainnya, otomatis lebih sehat untuk dikonsumsi. Lezat dimulut dan sehat diperut *ini istilahnya siapa yak?
Dan jangan ragukan soal harga, karena dengan harga Rp. 70.000,- misalnya kita hanya akan mendapat 5 pempek lenjer yang terkategori lezat, cukuplah untuk paket oleh-oleh satu keluarga. Kalau membuat sendiri, dengan dana Rp. 70.000,- itu bisa untuk oleh-oleh 3 keluarga. Belum lagi kalau cerita tentang si gurih Pempek Kulit yang satuannya sekarang bisa mencapai Rp. 2.500,- maka dengan dana Rp. 50.000,- hanya cukup untuk sekeluarga saja. Berbeda bila kita membuat sendiri dengan dana yang sama kita bisa mengantar tetangga kiri kanan, lebih terasa berkahnya. Itu artinya memasak sendiri selain menyehatkan perut juga bisa menyehatkan kantong. Lebaran kemarin aku sudah membuktikannya. Untuk pertama kalinya aku membuat Pempek Kulit, dan langsung berhasil, buktinya tak ada yang protes atau mengeluh sakit perut setelah menyantapnya. Dan yang tak kalah penting, ternyata tak sesulit yang aku bayangkan selama ini *info tak penting, jadi malu...
Belum lagi cerita memasak makanan khas Palembang lainnya, seperti Mie Celor, atau kembarannya Mie Kobak khas Bangka, aku juga sudah bisa membuatnya *bangga lagi...
Ragam pindang juga aku sudah bisa. Rasanya? Boleh, kapan-kapan silakan mencicipi kalau kebenaran datang ke Palembang. Lalu apa aku sudah bisa membuat semua jenis masakan khas Palembang? Sebenarnya bisa *gaya sok PeDe... tapi banyak yang belum pernah aku coba, sebut saja Celimpungan, Laksan, Burgo, Martabak HAR, Laksa, semuanya belum pernah aku buat sendiri, baru sebatas melihat Cik Yun (adik Ibuku) membuatnya pada moment-moment kumpul keluarga, entah itu arisan keluarga, syukuran atau saat ada keluarga yang datang dari jauh.
Yang jelas, kesimpulanku makin mantap, dengan membuat sendiri makanan tersebut, kesehatannya jauh lebih terjamin. Aman dari bahan kimia berbahaya dan jadi lebih hemat bahkan bisa sampai 100 %. Sehat di perut juga sehat di kantong. Akan terbukti bila kita sudah mencobanya sendiri, tak mesti menjadi ahli gizi untuk menyehatkan keluarga kita. Satu lagi, meski kemampuan memasak itu tak bisa diturunkan, tapi karena memasak itu sebenarnya keterampilan, makin sering dilatih maka makin terampillah kita memasak. Betul? Cobalah!
Tapi paling tidak, sekarang aku bisa lebih selektif lagi memilih makanan yang bebas pengawet, pewarna dan perasa buatan yang efek samping sudah sering menghebohkan itu. Sebab saat ini di Negeriku Indonesia tercinta yang mayoritas muslim ini, mendapatkan makanan yang HALAL itu lumrah namun makanan yang TOYYIB itu butuh perjuangan. Meski dari beberapa yang pernah kudengar dari pemberitaan ada juga pedagang nakal yang tega menipu konsumen dengan menyatakan HALAL tapi ternyata sebaliknya. Semoga ini hanya ulah segelintir orang dan itupun segera bertobat.
Adapun tentang makanan yang TOYYIB, sejauh ini aku meyakini lebih aman bila makanan itu kita masak dan olah sendiri. Misalnya saja kisah Pempek CS (olahan serba ikan) khas Palembang, di beberkan pada beberapa acara TV banyak dicampur bahan pengawet berbahaya sejenis formalin, atau Cukanya yang diberi semacam arak agar awet dan terasa enak, jujur sebenarnya sebelum liputan itu gempar, di Kantorku BTKL pernah mengadakan uji laboratorium dan terbukti banyak pedagang nakal yang lupa pada pentingnya sebuah keberkahan dalam mengais rizky.
Maka sementara ini, untuk melakukan pengamanan atau bahasa kerennya penyehatan pangan keluarga, mau tak mau aku (seolah) dituntut untuk lebih rajin lagi membuat makanan khas Palembang yang sangat digemari oleh penghuni rumah, terutama suamiku, yang sejak kecil memang lidahnya sudah dimanjakan dengan ragam makanan olahan serba ikan tersebut. Akupun mengunakan jurus "tak bosan mencoba dan tak malu bertanya", sebuah kata kunciku yang selalu kupakai dalam memasak.
Ternyata sangat mujarab. Saat ini membuat cuka sendiri aku sudah bisa sampai pada derajat pas banget *Hhayooo menurut siapa?
Mengolah Cuka. Cuko kalau bahasa Palembangnya. |
Pempek? Awalnya memang sering kekerasan, atau seperti ada yang kurang. Tapi sekarang ragam pempek sudah sering aku cobakan dan tak kalah dengan yang ada dipasaran. Dijamin bebas pengawet dan bahan kimia berbahaya lainnya, otomatis lebih sehat untuk dikonsumsi. Lezat dimulut dan sehat diperut *ini istilahnya siapa yak?
Dan jangan ragukan soal harga, karena dengan harga Rp. 70.000,- misalnya kita hanya akan mendapat 5 pempek lenjer yang terkategori lezat, cukuplah untuk paket oleh-oleh satu keluarga. Kalau membuat sendiri, dengan dana Rp. 70.000,- itu bisa untuk oleh-oleh 3 keluarga. Belum lagi kalau cerita tentang si gurih Pempek Kulit yang satuannya sekarang bisa mencapai Rp. 2.500,- maka dengan dana Rp. 50.000,- hanya cukup untuk sekeluarga saja. Berbeda bila kita membuat sendiri dengan dana yang sama kita bisa mengantar tetangga kiri kanan, lebih terasa berkahnya. Itu artinya memasak sendiri selain menyehatkan perut juga bisa menyehatkan kantong. Lebaran kemarin aku sudah membuktikannya. Untuk pertama kalinya aku membuat Pempek Kulit, dan langsung berhasil, buktinya tak ada yang protes atau mengeluh sakit perut setelah menyantapnya. Dan yang tak kalah penting, ternyata tak sesulit yang aku bayangkan selama ini *info tak penting, jadi malu...
| ||
Model khas Palembang, buatnya bareng Cik Yun :D |
Ini namanya Mie Kobak, adapun Mie Celor baru beberapa hari lalu aku cerita disini. |
Ragam pindang juga aku sudah bisa. Rasanya? Boleh, kapan-kapan silakan mencicipi kalau kebenaran datang ke Palembang. Lalu apa aku sudah bisa membuat semua jenis masakan khas Palembang? Sebenarnya bisa *gaya sok PeDe... tapi banyak yang belum pernah aku coba, sebut saja Celimpungan, Laksan, Burgo, Martabak HAR, Laksa, semuanya belum pernah aku buat sendiri, baru sebatas melihat Cik Yun (adik Ibuku) membuatnya pada moment-moment kumpul keluarga, entah itu arisan keluarga, syukuran atau saat ada keluarga yang datang dari jauh.
Yang jelas, kesimpulanku makin mantap, dengan membuat sendiri makanan tersebut, kesehatannya jauh lebih terjamin. Aman dari bahan kimia berbahaya dan jadi lebih hemat bahkan bisa sampai 100 %. Sehat di perut juga sehat di kantong. Akan terbukti bila kita sudah mencobanya sendiri, tak mesti menjadi ahli gizi untuk menyehatkan keluarga kita. Satu lagi, meski kemampuan memasak itu tak bisa diturunkan, tapi karena memasak itu sebenarnya keterampilan, makin sering dilatih maka makin terampillah kita memasak. Betul? Cobalah!
Tulisan ini diikutsertakan dalam "GiveAway Nyam Nyam Enny Mamito"
20 komentar:
wahhh murah pisan itu pempek ya mbak , di sini sepotong udah 5rb an :(
selain pintar masak, mbak juga rajin dan itu perlu, karena gimana mo pintar klo gak rajin
ya kayak aku ini, pengen pintar tapi malas hahaha ...
semoga menang di kontes mamito ya mbak
bunda, bagi pempek kulit, model, terus mie celor, terus kue srikaya nya dong :D
Ini edisi kelaperan dipagi hari sekalian buat nyemil :D
Waaahhh ...
Keren nian ini ...
Dengan memasak sendiri ... kita bisa jadi bisa mengontrol ...
mengontrol kesehatan bahan bakunya dan juga mengontrol kesehatan dompet juga ...
Very Nice Ibu ...
(donatnya menggairahkan ...)(lezat ini pastinya ...)
salam saya
Waaww.. banyak makanan enak dan sehat. Ngiler liat donatnya nih. Eh, kalo resep rainbow cake anti gagal maknya yunda punya tak?
wah salut mb..sdh byk menu ya yg dihslkan...aplg masakannya jd favorit anak2 & sehat pula ^_^
trimakasih sdh ikutan..sdh kucatet mb :)
mertuaku orang Palembang juga hobinya masak, makanya kalo mertua datang aku bingung takut di test suruh masak... hahahahaha...
wow.. :D hehe sementara ini, saya bisanya masak nasi -pake mnegiccom- sama masak mie instan aja bun.. :d hiahaha :D
dan nilai plusnya adalah masakan istri bisa menjadi salah satu sebab kangennya suami
untung giveaway dan postingnya gak pas lg puasa, huwaaaaaaaa bisa ngiler tingkat kecamatan nih, hihihihi
pempek itu yg aku pengen sekali bisa. Sdh coba tapi gak puas. Suamiku juga suka pempek terutama cukonya.
Kalu menurutku mbak sdh jago masak, mudah-mudahan juri setuju denganku dan terpilih jadi juara, aamiin .. :)
Hm, kue srikaya itu apa khas Palembang ya mbak?
Aku pernah dikasih sama tetangga dan ia orang Palembang... just bertanya2 aja sih soalnya itu baru sekalinya aku makan kue srikaya hehehe :D
Semoga menang ya mbak :D
alhamdulillah...akhirnya Yunda mo kembali ke habitat,,, jadi ibu yang hebat..ibu yang potensial dan istri yang hmmmm.....
senang aku dengan bukti karya mu ini, dan ternyata kau bisa lulus dengan predikat cumlode, hi hi hi
ya biasanya emang gitu. dari gak bisa jadi bisa. yg penting kemauan ya, mbak.
wah kalo udah jago bikin empek-empek.....boleh dong delivery ke jakarta.....jual online bikinan sendiri....aku konsumen pertamanya hehehhe.....berani coba?
Sama ya ... saya juga belajar masaknya setelah nikah. Untung Yunda punya suami yang tak pusing urusan masak itu ya :)
Kan ada tipe suami yang rewel urusan makanan tuh ..
Sama ya ... saya juga belajar masaknya setelah nikah. Untung Yunda punya suami yang tak pusing urusan masak itu ya :)
Kan ada tipe suami yang rewel urusan makanan tuh ..
Kalau menurutku, wanita gak usah takut kalau gak bisa masak. Karena keadaan akan mendesak kita jago masak. Mana tahan sih ngelihat anak2 sendiri makan hasil masakan orang mulu..Kalau aku lihat, hasil masakan Mbak Keke sudah oke semua. Soal rasa mesti di test dulu hahaha...
Tulisan ini bakal jadi salah satu pemenang kayaknya, habis makanannya banyak banget dan bagus-bagus :)
Yunda, saya juga mulai suka masak setelah menikah. Dulu mah boro-boro. Tapi bener kok, pujian dari suami dan anak itu bikin kita makin semangat buat terus bikin makanan enak...
Tulisan ini bakal jadi salah satu pemenang kayaknya, habis makanannya banyak banget dan bagus-bagus :)
Yunda, saya juga mulai suka masak setelah menikah. Dulu mah boro-boro. Tapi bener kok, pujian dari suami dan anak itu bikin kita makin semangat buat terus bikin makanan enak...
Aku belajar masak juga baru dua tahun ini Mbak, itu rasanya pengen nangis tiap kali selesai, apalagi kalo pas sok-sokan bikin pempek dan cukonya, trus denger komentar suami, tambah pengen nangis. Tapi ternyata prosesnya sampe jadi jago emang panjang ya, Mbak? Hehehehe..
Makasih ya sharing-nya ;)
Posting Komentar