Sebuah pengalaman yang sebenarnya sudah sering aku ceritakan di blog ini. Sudah berseri bahkan, tapi jujur aku tak pernah bosan untuk mengulangnya, mengambil sisi lain disetiap jengkal kenangan tersebut. Saat dimana pada musim haji tahun 1431 H atau bertepatan dengan tahun 2010 yang lalu aku diizinkan Allah
menginjakkan kaki di dua tanah haram, dan bisa menunaikan rukun islam kelima, walaupun bukan sebagai jama'ah biasa. Karena aku diberi kesempatan naik haji gratis, tanpa bayar dan tak perlu mengantri. Pada tahun yang sama untuk bisa berangkat haji seseorang harus sudah mengantri paling tidak sejak dua tahun yang lalu, adapun sekarang antrian calon jama'ah haji khususnya Sumatera Selatan sudah sampai 2023, sepuluh tahun lagi. Dan saat itu akupun mendapat uang honor dari tugas yang dijalankan. Yang jumlahnya lumayan, kalau dibelikan motor bebek merk ternama uangnya masih ada kembalian. Nah kenapa ujung-ujungnya ngomongin duit yak? Ini imbas rasa senang dihati. Pokoknya Subhanallah dech, syukur Alhamdulillah...
Alkisah, aku berangkat sebagai Petugas Kesehatan Haji Indonesi,
tepatnya sebagai dokter kloter 31 JKG. Tugasku saat itu adalah sebagai
koordinator kesehatan kloter yang harus mengurusi 450 orang jama'ah dan didampingi oleh 2 paramedis yang lain. Bayangkan kami bertiga harus mengurusi begitu banyak orang. Berat rasanya, tapi karena aku yakin bahwa ini adalah tugas mulia maka aku tetap bersemangat. Apalagi menjadi dokter kloter atau sering juga disebut TKHI (tim kesehatan haji Indonesia) adalah impianku sejak zaman kuliah dulu. Namun karena saat tamat aku sudah menikah dan sulungku masih batita maka keinginan tersebut hanya aku pendam. Anak kedua lahir tak sampai dua tahun kemudian, dan dengan komitmenku untuk tetap memberikan ASI sampai umur 2 tahun, maka niatan untuk ikut seleksi TKHI belum juga bisa kuwujudkan. Tahun berikutnya saat ananda belum disapih, suami masih berat mengeluarkan izin. Maka tiba masanya Hamas berumur 5 tahun, barulah suami berkenan memberiku izin, lama ya, tapi justru izin suamilah kata kuncinya, maklum masa tugasnya 40 hari.
Awalnya memang suamiku berat melepasku berangkat sendiri ke sebuah Negeri yang jauh dalam waktu yang lama, tapi aku berhasil meyakinkan. Sumber kekhawatirannya adalah karena aku punya
penyakit ashtma, sedangkan tugas selama disana terkategori berat dan cuaca yang
sangat ekstrim. Panas dan dingin yang berbeda dari Indonesia. Alasan
yang masuk akal bukan? Aku sebenarnya juga tak kalah cemas, tapi aku
mengantisipasi semuanya dengan persiapan yang matang. Ibarat mau perang, amunisiku harus yang terbaik dan juga harus menguasai medan. Olahraga teratur,
bawa habattussauda, spirulina dan kopi Radix untuk menjaga stamina selama
disana. Sedangkan untuk berjaga-jaga aku tetap membawa inhaler, obat ashtma pamungkas yang disemprotkan bila terjadi serangan. Dan alhamdulillah selama
disana, kesehatanku justru paripurna. Jangankan ashtma, batuk filekpun tak kebagian, bukannya aku termasuk
golongan onta atau tiang listrik lho, secara katanya semua jama'ah haji
pasti mengalami batuk filek, kecuali onta dan tiang listrik, hiiii...
Tapi sungguh, para jama'ahpun
banyak yang heran, kenapa aku tak kena batuk filek seperti kebanyakan
mereka, bahkan ada yang sampai berulang kali. Ini bisa jadi karena banyak yang mendo'akanku dan yang pasti karena Allah sudah
menunjukkan Maha Kuasanya.
Dan seperti yang kita ketahui haji itu
adalah satu bentuk ibadah fisik. Artinya semua rangkaian ibadah selama di sana
sangat mengandalkan kesehatan dan kebugaran jasmani. Saat berangkat
sebagai petugas tanggung jawabku adalah membantu para jama'ah untuk
tetap sehat saat menjelang, puncak haji dan sampai kepulangannya. Sebuah kebahagian yang luar biasa bila kita bisa mendampingi para jama'ah melaksanakan
ibadahnya dengan maksimal karena ditunjang oleh kesehatan yang baik. Karena tak semua jama'ah haji Indonesia dapat sukses
menjalankan semua rangkaian ibadah selama disana, paling mereka hanya mampu berada pada zona aman. Artinya berada pada kondisi hanya bisa ikut ibadah wajibnya saja. Padahal berapa banyak biaya yang sudah dikeluarkan
untuk berangkat, mencapai > 30 juta. Mau tahu
penyebabnya? Umumnya ini karena kondisi kesehatan mereka yang tidak
memungkinkan, sudah banyak yang lanjut usia. Jadi untuk tawaf keliling
ka'bah 7 kali saja, mereka harus naik kursi roda, butuh biaya lagi. Apalagi sya'i bolak-balik Syafa ke Marwa, banyak yang tak kuat lagi. Ditambah daya ingat para lanjut
usia sudah semakin menurun, akibatnya sering nyasar dan banyak lupa
tuntunan ibadah haji. Och sungguh disayangkan.
Setiap tahunnya jumlah calon jama'ah haji Indonesia akan terus bertambah, seiring dengan kesadaran
beragama yang makin baik juga tingkat ekonomi yang semakin sejahtera.
Tapi yang justru memprihatinkan, jumlah yang makin banyak itu tidak
dibarengi dengan mutu yang makin baik pula. Sedih bila melihatnya, banyak
jama'ah haji kita yang hanya sibuk belanja. Kalau ditanya mengapa tak
sholat ke Masjid Haram, alasannya kurang enak badan. Tapi kalau belanja
oleh-oleh bisa dari pagi sampai malam, enak-enak saja itu badannya. Belum lagi banyak yang rajin mengeluh. Cuaca panas dikeluhkan, antri
kamar mandi mengeluh, makanan tak sesedap di Indonesia bisa jadi bahan
keluhan berkepanjangan. Kasiankan, jadi hilang rasa syukurnya.
Terlebih pada puncak haji saat fase wukuf di Arafah,
Musdhalifah dan mabid 3-4 hari di Mina. Totalnya hanya 5
hari saja pelaksanaan ibadah wajib. Secara lebih jelas pernah kuceritakan disini. Sedangkan sisa waktunya untuk serangkaian
ibadah sunnah yang memang sangat menggiurkan pahalanya. Coba renungkan, satu kali sholat wajib di Masjidil Haram, Mekkah sama dengan
10.000 sholat dimasjid biasa. Sedangkan untuk sholat di Masjid Nabawi,
Madinah itu setara 1.000 kali. Sebuah keutamaan yang tak selayaknya dilewatkan. Maka bila suatu saat kita berangkat haji, usahakan saat masih muda, agar selama
disana bisa optimal beribadahnya bahkan bisa menolong orang lain.
Biasanya jama'ah yang masih muda akan lebih banyak melakukan
ibadah-ibadah sunnah selama disana karena fisiknya lebih bugar dan kesehatan badannya lebih terjaga.
Tapi tidak semuanya begitu, banyak juga jama'ah haji yang tetap
semangat dalam beribadah selama disana. Sering sulit sekali ketemu
mereka di Maktab karena dari sebelum subuh sampai setelah Isya beribadah di
Masjidil Haram. Ya, saat di Mekkah kami mendapat Maktab yang jaraknya
sekitar 2 Km, jadi tanggung memang kalau mau bolak-balik. Ada juga
angkutan, tapikan mesti tambah ongkos, belum lagi cuaca yang memang
jauh lebih panas dibanding di Indonesia. Jadi memang kalau aku selaku
jama'ah yang leluasa beribadah sunnah, pasti juga memilih banyak-banyak
berada di Masjidil Haram, menggunakan aji mumpung, mumpung di Mekkah, kapan lagi. Namun aku sadar, kondisiku berbeda, bila ingin ke Masjidil Haram harus lihat situasi dan kondisi kesehatan para
jama'ah dulu, kalau aman baru bisa berangkat. Dan itupun harus gantian
dengan petugas yang lain. Namanya petugas, berada di sana adalah
dalam rangka tugas, mendampingi para jama'ah haji. Setiap hari selama di Mekkah
bisa ke Masjidil Haram pada satu waktu sholat saja sudah bersyukur. Itupun dalam kondisi yang sangat beragam, ada yang mengambil waktu subuh, berangaktnya tengah malam, sekitar jam 2. Atau pada
waktu dhuha sampai dzuhur. Biasanya aku pergi bersama dengan
rombongan jama'ah yang lain. Kadang lihat mereka jalan bareng suami atau
orangtuanya, aku suka sedih sendiri. Tapi aku yakin suatu hari aku
akan datang lagi kesana, tidak sendiri lagi dan bukan sebagai petugas.
Do'akan ya...
Dan bila berkisah tentang Madinah, membuatku banyak merenung tentang peristiwa hijrah. Ternyata jarak antara Mekkah ke Madinah itu jauh. Kalau naik bus sekitar 7-8 jam perjalanan. Selama dalam perjalanan menuju ke Madinah, aku merasakan
suasana yang mengharu biru. Membayangkan sosok Nabi Muhammad yang
Agung bersama para sahabat saat peristiwa hijrah, mereka hanya berjalan
kaki, sebagian dengan naik onta. Sejauh mata memandang hanya gurun pasir
dan batu cadas, panas terik sangat menyengat. Apalagi mereka harus
berangkat dibawah kejaran kaum kafir Quraysi, sungguh peristiwa yang
luar biasa. Dan aku selalu terkesima kalau mendengar atau membaca cerita hijrah. Sangat
fenomenal. Wajarlah bila dianggap sebagai tonggak babak baru dakwah Nabi.
Maka saat kloter kami sampai di Madinah, aku sungguh kagum dan terpesona.
Begitu damai. Kota yang bersih, tertib dan sangat bersahaja. Aku
langsung jatuh hati. Rasa segera ingin beristirahatpun hilang,
dikalahkan oleh hasrat untuk berziarah ke makan manusia paling mulia,
Nabi Akhir zaman. Makam Nabi
Muhammad, SAW tersebut terletak di salah satu sudut masjid Nabawi. Didukung dengan jarak antara Maktab dengan masjid Nabawi hanya 200 m saja. Kubah masjid
bahkan terlihat jelas dari Maktab kami, suara adzanpun terdengar keras.
Pokoknya semua jama'ah kloter kami langsung sehat sampai di Madinah. Bukan berarti tak ada jama'ah yang sakit. Ada, tapi tak banyak, rata-rata aman
terkendali. Ada satu jama'ah kloterku yang sejak awal datang ke Madinah
sampai menjelang pulang ke tanah air harus rawat inap di BPHI karena ashtmanya anfal dan paru-parunya gagal mengembang sehingga selalu perlu dipasang
oksigen. Hal ini dipicu juga oleh cuaca dingin di Madinah saat itu yang
mencapai 6 derajat Celsius, dingin menusuk sampai ke tulang. Aku yang juga ashtma sangat
bersyukur bisa bertahan dicuaca yang sangat dingin itu.
Bersama dua Nini yang selalu semangat ke Nabawi, Nenek Jamilah dan Nyai Masayu. Jangan tanya umurnya ya karena aku lupa mencatat :D |
Sejujurnya saat bertugas sebagai dokter kloter inilah yang paling membuat hatiku senang, sepanjang sejarah menjalani tugas keprofesian ini. Dan akhirnya berangkat dari pengalamanku bertugas ini, sepenuh hati aku menghimbau kepada semua sahabat blogger agar meniatkan diri untuk bisa berangkat haji selagi masih muda. Selanjutnya usahakan segera mendaftar sesegera mungkin sesuai dengan kemampuan. Jangan menunggu ada kelebihan rezky baru mendaftar, tapi sebaliknya dengan mendaftar haji, Insya Allah akan diberikan keluasan rezky. Karena tugas kita adalah menjalankan serangkaian proses memantaskan diri untuk menjadi tamu-Nya di Baitullah. Sempurnakan do'a-do'a kita untuk menuju kesana. Soal giliran tahun berapa kita akan berangkat haji, serahkan hanya pada-Nya.
Artikel ini diikutsertakan dalam Giveaway Senangnya Hatiku.
|
22 komentar:
Masya Allah, jadi termotivasi untuk bisa berangkat haji nih :) ehem ehem...
Mbaaaaak, aku kirim email. Cek ya! Berkenaan tentang endorsment hihi ^^ tengkyu loh mbak #pelukcium
lebih mudah agar lebih sehat gitu ya mbak
Alhamdulillah, kegiatan mulia yang bernilai ibadah Insya Allah barokah.
Semoga berjaya dalam GA
Salam hangat dari Surabaya
Sebuah cerita pengalaman yang mengasyikan. Dan dapat menjadikan suau pedoman pembelajaran untuk kita semua.
Bila niatan sudah terpasang dengan serius, maka akan selalu ada jalan kemudahan dalam melakukan perjalanan ibadah menuju rumah Alloh ya mba.
Semoga sukses dan berhasil dalam GA nya.
Sukses selalu
Salam Wisata
mudah mudahan ane di beri kesempatan juga untuk berangkat haji...thanks postnya..salam kenal
Subhanallah.. iya ya Mbak, kata Mamaku juga di sana dinginnya tuh bener-bener nusuk tulang. Mama juga masih takjub sampai sekarang, kok beliau bisa tahan, padahal di Jakarta kena AC 27C aja beliau langsung masuk angin :)
Pertolongan Alloh ya Mbak :)
membayangkan dengan membaca artikelnya saja saya merinding dan pingin nangis Yunda, apalagi bisa keturutan kesana..
semoga saja saya menjadi salah satu yang terpilih mencium tanah suci-Mu ya Rabb..
tugasmu begitu berat mbak, tp jg begitu mulia...
semoga semua berjalan lancar ya... begitupun dgn GA nya
^_^
Alhamdulillah..., betapa senang dan bahagianya ya, Bu, mendapatkan tugas yang mulia sekaligus dapat beribadah haji di tanah suci. Sungguh, saya ikut bahagia membacanya. Maka, secara resmi artikel di atas saya nyatakan TERDAFTAR.
Terima kasih banyak ya, Bu. Salam hangat dari Jogja.
Subhanallah jd makin termotivasi ke baitullah, smg dimudahkan
Sarat pesan dan makna atas pengalaman yg di jalani mbak...
Semoga menjadi ladang pahala buat para pembaca dan penulisnya..
Sukses ya buat GA nya :)
Subhanallah saya jadi ingin bisa berangkat ke sana Mbak, jadi merinding sendiri membayangkan saat menapak kaki di tanah haram :)
sungguh sebuah pengalaman indah, menakjubkan dan membahagiakan ya mba, sebuah kesempatan yang tak dimiliki setiap orang.
Sukses untuk GAnya yaaa... :)
Semoga Langkah Kebaikan selalu berjalan diring keihklasan, dan terus berbagi pengalaman untuk sahabat sahabat...
Yundaaaa...selamat ikutan lomba ya!
Saya bisa ngebayangin gimana senengnya menjadi petugas haji yang membantu kesehatan para jamaah. Selain pergi kesana tanpa bayar *malah dikasih uang saku*, kita juga bisa menanamkan banyak benih kebaikan berupa membantu kesehatan mereka...
Semoga suatu hari nanti Yunda dan keluarga bisa melaksanakan ibadah haji kembali dengan keluarga tercinta.
Amin.
kakak Dini selalu bertanya, ibu di haji itu jauh ya.
Trus harus punya uang berapa.
Pertanyaan yang sangat bermakna. Subhanallah ya Yun...rasanya bisa menginjakkan kaki kesna untuk niat suci rasanya senang tidak tergantikan.
senengnyaaa kalo ditugaskan ke tanah suci ya
bisa ibadah sambil bertugas, membantu sesama pula
dobel dobel pahalanya
hehehhee
suatu hari Dija juga mau ke Nabawi
ke taman surga
Huuuu., saya mau juga (T.T)/
Di tagin dulu ah, semoga dalam waktu dekat di ijabah :)
Berangkat haji adalah salah satu impian terbesar saya yang ingin segera diwujudkan.. Entah kenapa, setiap kali melihat pemberitaan tentang haji, atau membaca tulisan tentang perjalanan haji, ada getaran dahsyat di hati saya, termasuk tulisan ini..
Selamat yang Mbak, sudah merasakan kebahagiaan ini. Semoga saya pun bisa merasakan kebahagiaan yang sama, suatu saat kelak..
membacanya dengan asyik. terbuka pengetahuan tentang profesi dokter haji.
semoga kelak aku bisa berhaji. antrean di jepara juga sudah sampai 2013.
asik yah, menyelam sambil minum air. aku jadi kepengen seperti itu.
Posting Komentar