Gambar disini |
Kisah ini diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang karya Salim A.Fillah aslinya
berjudul Mencintai sejantan ‘Ali.
Sebagai kado pernikahan untuk Berty
dan Andi di Bengkulu,maafkan kami sekeluarga yang berhalangan
hadir. Teriring do’a penuh cinta seperti yang di sampaikan oleh Rasulullah, SAW
pada pernikahan ‘Ali dan Fatimah:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan
kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari
kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183,
bab4).
***
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun.
Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya
itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya,
parasnya.
Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka
memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati,
ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk
menghentikan darah ayahnya.Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati
menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian
oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di
sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya
pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah
waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya
dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak
awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash
Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di
sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat
Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak
tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh
bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr;
’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash,
Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti
’Ali. Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang
dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan
siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar,
insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah. ’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas
diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau
mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di
hati ‘Ali yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk
mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr
mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan
perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani
tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut
dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan
itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar
3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan
semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya
pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya
Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu
Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba
bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali
menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi
karena tak menemukan Rosulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya
berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari
bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. Sedang ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh
kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini
putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda,
anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar
di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali,
sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia
pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah!
Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk
menanti. Ia
mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah
yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn
Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu
Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan
kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan
dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh
semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman
Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat,
engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya
keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak
ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana
ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau
tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di
batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua
sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul
resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Dan lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” kata itu meluncur
tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan
atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak
sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan
daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya
dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar kau ‘Ali”, kata mereka, ”Eh, maaf kawan.Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan
saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa
Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”
Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan
rumah yang semula ingin disumbangkan oleh kawan-kawannya tapi Nabi berkeras
agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan
cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah.
Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman
sejati. Tidak heran kalau
pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta
para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung
jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia
mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang
kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam
suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah
berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku
pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah
denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
***
Kisah ini kusampaikan disini, bukan untuk menghadirkan rasa mendayu-dayu
atau romantis-ria ala telenovela. Kisah ini kusampaikan semoga kisah ‘Ali dan
Fathimah menjadi inspirasi untukmu Dinda, bahwa ternyata keduanya telah
memiliki perasaan yang sama jauh semenjak mereka belum menikah, tetapi dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu.
Perasaan yang InsyaAllah akan lebih indah ketika masanya tiba.
Ya ya… semua indah pada masanya.
Ya ya… semua indah pada masanya.
8 komentar:
Ass....
Sebuah cerita yang indah dan menjadi pembelajaran untuk kaum muda bahwa dalam masa penjajakan cinta pun terdapat pembelajaran budi pekerti yang tinggi. Semoga dapat menjadi contoh kebaikan dan nasehat kebaikan untuk sesama.
Sukses selalu
Salam
Ejawantah's Blog
Indahnya kisah Ali dan Fathimah ya mbak...
Bagus bgt review bukunya.. Jd pengen cari, hehehe..
Jd ingat pernikahan saya yg hny modal nekad hehe
Ketika kami dihadapkan dgn 2 pilihan. Mengambil kesempatan itu meskipun dlm keadaan pailit ga pny duit. Atau melepasnya dan membiarkan cinta menanti. Dan kami memilih mengambil kesempatan itu :)
Smg saudaranya jd keluarga SAMARA amiin
Sepertinya bukunya menarik ya mbak :)
subhanallah....saya sgt suka bukunya 2 tahun lalu anak2 LDK membuat acara bedah buku "JCPP" dan semua peserta jd pengen pnya bukunya hehehe....sayang di poso tidak ada yang namanya toko buku,lebih sayang lg bukuku itu hilang,....ya mencoba ntuk ikhlas,salam kenal mba follow me in my blog please...
reviewnya sangat mengalir, seolah langsung baca bukunya
langsung dicatat untuk dicari.
salam kenal Buk..
saya nyasar dari blok-nya mbak Nia..
nyampe sini langsung menemukan artikel luar biasa.
doktergigigalau menyukai artikel ini!
Salam MagaHaya!
huhuhuhuhuhu... jadi kangen pengen baca lagi buku2nya Salim A Fillah....
All:
Terima Kasih sudah berkunjung dan memang buku unu bagus sekali tak menyesal membacanya ;)
Posting Komentar