Senin, 02 Mei 2011

Indahnya saling Memaafkan

Belajar pada Penggalan Siroh

Siapapun pasti pernah mengalami masa-masa sulit,
saat kesalahfahaman berlarut-larut.
Teori dan konsep untuk selalu berlapang dada jauh menguap.
Meninggalkan kepulan prasangka yang berbumbu diam.
Menghindar.
Enggan memulai untuk mengurai kisah tak nyaman.
Bersepakat dengan hati, biar waktu yang bicara.
Hati manakah, dan kesepakatan bersama siapakah?
Jangan-jangan saat itu, kita sudah bersekongkol dengan hizubu syaithon

Dan begitulah kawan.....
Cerita manis yang lalu tak lagi mampu menginspirasi.
Maka saat itu, ingatlah pada para sahabat Nabi telah mencontohkan.
Carilah pihak ketiga, datanglah pada orang yang tepat.
Agar tak tersisa sedikitpun selain maaf.
Sekali lagi, cari orang yang tepat, bukan yang justru memperkeruh.

) 8 (

Coba kita simak kisah ini, saatnya sejenak mengenang masa ini:
Satu hari Abu Bakar, lelaki tinggi perkasa itu menjinjing kainnya
Terlunjak jalannya, hampir tertampak lututnya, gemetar tubuhnya
Beliau menghampiri majelis yang ada Rosulullah didalamnya

Melihat kedatatangan kisruh Abu Bakar yang tak biasa, Nabi langsung menyikapi

“Sahabat kalian ini”, kata Sang Nabi pada majelisnya
“Sedang kesal, maka berilah salam padanya dan hiburlah hatinya”

Abu Bakarpun mulai bersuara.
“Antara aku dan putera Al Khattab”, lirih Abu Bakar
Ia genggam tangan Nabi, dia tatap mata beliau dalam-dalam

“Ada kesalahfahaman. Lalu dia marah dan menutup pintu rumah.
Kuketuk pintunya, kuucapkan salam berulangkali untuk memohon maafnya,
tapi dia tak membukanya, tak menjawabku, dan tak juga memaafkan.”
Tepat ketika Abu Bakar selesai berkisah, Umar datang dengan tak kalah resah.

Dan dengarlah lisan Nabi tulus berkata,
“Sungguh aku diutus pada kalian”, Sang Nabipun bersabda.
"Lalu kalian berkata, engkau dusta", Wajah beliau memerah.
"Hanya Abu Bakar seorang yang langsung mengiya, dan berkata, engkau benar"
"Lalu ia membelaku dengan seluruh jiwa dan hartanya,
masihkah kalian tidak takut pada Allah untuk menyakitinya?"

Umar berlinang, beristighfar dan berjalan simpuh mendekat.
Tapi tangis Abu Bakar lebih keras, air matanya bagai kaca jendela lepas, pecah, berhampuran. Dengar katanya, mengaku salah
“Tidak ya Rasulallah.. tidak.. ini bukan salahnya.
Demi Allah akulah memang yang keterlaluan”
.

Lalu dipeluknya Umar, saling menenangkan bahu yang terguncang, berebut rasa bersalah. Tak sedikitpun Abu Bakar merasa besar kepala sudah dibela lisan mulia Sang Nabi.
Ya Allah jika kelak mereka berpelukan lagi di sisi-Mu,
mohon sisakan bagian rengkuhannya untuk kami, 
pada pundak, pada lengan, pada nafas-nafasnya.

) 8 (

Cerita ini bukan dari negeri dongeng, ini nyata pernah terjadi.
Semoga kita masih bisa menangis,
merindu kisah ini seperti masa ini .
Pada Abu Bakar As-Sidhiq
Pada Umar Ibnu Khattab
Kita belajar indahnya saling memaafkan.
Tanpa ada rasa yang tersisa,
tak perlu ada ungkitan, tidak juga sebentuk diam.

Jalan Cinta para Pejuang, Salim A. Fillah

2 komentar:

Nufri L Sang Nila mengatakan...

memang berat untuk saling memaafkan...pelajaran yang sangat berarti bisa saya ambil dari tulisan ini...terima kasih

salam :)

Artineke A. Muhir mengatakan...

Thanks dah baca ini Bang Nufri...
Semoga mampu menginspirasi :)