Jumat, 20 Februari 2015

Mrs. Masalah vs Miss Bahagia

|Mrs Masalah vs Miss bahagia|
by. Rahmat Idris

"Lalu bagaimana engkau bisa memilih menghabiskan waktu berjam-jam menelpon perempuan bukan mahrammu itu sedangkan istrimu sendiri engkau acuhkan? apakah engkau tidak malu dengan shalat dan sujudmu?"
Tanya saya ketika kepada dia, shahabat yang baru saya kenal 6 tahun lalu. beristri satu, beranak dua, berpenghasilan pas-pasan namun masih sempat-sempatnya menebar madu kepada siapun yang dikenalnya.
"Aku tahu menurutmu aku lelaki brengsek. tidak mengapa. aku jujur di depanmu. soal engkau mau menasehatiku dengan semua argumenmu lakukan saja. aku pun melakukan ini bukan tanpa alasan."
"Kamu tahu kan? penghasilannya 2 juta rupiah. dan dari 2 juta itu, semuanya aku berikan kepada istriku. tidak meninggalkan sepeserpun kecuali untuk ongkos transport dan pulsa. menurutmu apa yang kudapatkan dari usaha kerasku sebesar 2juta itu dari istriku?"
"Ucapakan terimakasih? senyuman dan pujian? pelukan selamat jalan di pagi hari dan pelukan selamat datang sore hari? tidak.. bahkan di hari rayapun tidak."
"Yang kudapat dari upah kerja kerasku sebesar 2 jutaan itu malah ratapan kesialan siang dan malam. spp anak semakin mahal. minyak makan naik, cabe menggila harganya. hidup yang semakin sukar. tentang tetangga yang suaminya sudah kerja ke malaysia dan mengirimkan uang tiap bulannya 5 juta sebulan. tentang sepupu istri yang mendadak kaya raya karena ikut-ikutan mencari batu giok ke calang. soal rumah sewa yang semakin sempit dan sumpek. selalu saja ketika aku pulang dalam kondisi capek, yang menyambutku adalah cerita masalah! masalah! masalah! dan kesuksesan orang lain. tidak pernah dia berusaha memahami betapa aku telah berkorban seluruh hariku untuk dia dan anak-anak."
"Lihatlah, dua juta sebulan aku mencari uang pagi hingga malam demi dia. namun berbilang tahun dapat kuhitung rasa hormatnya kepadaku. semakin besar anak-anak, semakin hilang hormatnya."
"Dan kamu tahu siapa yang kutelpon itu? dia entah anak perempuan mana yang ku kenal di jejaring sosial, dia tinggal dimana aku tidak peduli. Dia merahasiakan identitasnya, aku juga. yang kami lakukan hanyalah bicara apa saja yang bisa. Dari hal ringan hingga hal berat. namun tidak pernah sama sekali kami membicarakan masalah-masalah."
"Yang kami bicarakan hanya hal-hal yang membahagiakan saja. aku tidak peduli dia istri orang ataupun perempuan cacat. selama dia mampu membuatku tertawa dan dia juga tertawa itu sudah cukup. inilah hal yang aku dapatkan hanya dengan membayar 2000 rupiah perhari untuk sekedar mengaktifkan talkmania."
"Sedangkan dengan istriku, 2 juta sebulan pun tidak mampu membuat dia ceria sekejap pun seperti perempuan itu.lihat betapa mahal harga senyum seorang halal dan di sudut sana, betapa murah mendengar tertawa renyah perempuan yang tanpa ikatan"
Sering dalam ikatan pernikahan, dimana kebahagiaan seharusnya menjadi lebih dekat daripada hubungan lainnya, malah kebahagiaan itu menjadi nisbi dan sulit di ukur. Siapa yang harus disalahkan? Sepertinya tidak ada yang salah, mungkin iman didada sang suami yang sedang kelelahan, atau rasa syukur si istri yang sedang tiarap.

Namun pertanyaan yang lebih tepat diajukan kepada kita masing-masing adalah siapa yang terlebih dahulu bersedia memperbaiki diri.


Sebagai bahan renungan.