Selasa, 02 Desember 2014

Yang Bersama Terus Berbenah

Ini kejadian beberapa hari yang lalu saat aku berkesempatan mendengarkan curhat seorang 'adik'. Begini kisahnya, cieee  

Dijeda sebuah pelatihan, aku membaca sebuah pembaharuan dari seorang Ust.Cahyadi Takariawan (beliau baru sepekan lalu dinobatkan sebagai Kompasioner Terfavorit pada penghargaan Kompasiana Awards 2014) yang memang pemberitahuannya rutin masuk ke fb-ku dan biasanya kerap kubaca, seringnya sambil senyum-senyum.

Dan kali ini, demikianlah isi status beliau:
Sekedar menelpon, atau sms, atau ngobrol via BBM atau WA, untuk menanyakan kondisi dan aktivitas masing-masing, adalah sesuatu banget bagi pasangan suami istri.....
Jangan menelpon atau mengontak hanya karena ada sebuah kepentingan yang khusus. Tidak perlu ada sesuatu kepentingan tertentu. Usahakan terus terhubung dan nyambung. Bahkan untuk sekedar "iseng" atau hal-hal yang sepertinya tidak penting.... 
Justru ini menjadi penting dalam rangka menyatukan hati dan jiwa suami istri.
Agar mereka selalu nyambung dan terhubung....

********

Istri : Sudah makan Bang?
Suami : Sudah Dek....
Istri : Makan apa Bang?
Suami : Makan siang Dek...
Istri : Ooh aku kira makan nasi Bang...
Suami : Kalo kamu udah makan Dek?
Istri : Udah Bang...
Suami : Makan apa Dek?
Istri : Makan ati Bang....
Suami : Ooh... kirain makan nasi...

***********
Isinya cuma iseng dan gak penting kan? 

Karena yang penting adalah selalu terhubung dan nyambung.... 
Isi chatting tidak terlalu penting....
Selamat siang sahabat semua.......


Seperti biasa akupun langsung mesem-mesem sendiri. Ternyata peserta pelatihan disebelahku, yang juga kawan sekamarku selama pelatihan kali ini memperhatikan dan langsung bertanya. "Baca apaan sich Mbak?" Serta merta aku menyodorkan hp-ku, dia membacanya dengan seksama. Aku kembali khusyuk dengan materi pelatihan yang mulai serius lagi. Barulah saat istirahat sholat dzuhur, Bunga (bukan nama sebenarnya) menggenggam tanganku erat. "Mbak, aku telat membaca tulisan bagus seperti tadi, sebenarnya aku punya pengalaman pahit seputar kehidupan berumahtangga". Dan akhirnya mengalirlah kisah berharga darinya tanpa kupinta. 

Sepuluhtahun lebih berubah tangga, Bunga merasa mereka hidup dalam keharmonisan, masuk dalam gambaran keluarga SAMARA. Suaminya adalah seorang pengusaha yang mulai menanjak, selain itu ia juga terkenal sebagai orang yang faham agama, bahkan banyak yang menyebutnya Ustadz. Sementara Bunga sendiri bekerja paruh waktu sebagai dokter PNS di Dinas Kesehatan sebuah kota. Kehidupan mereka sangat ideal dengan kehadiran 2 orang anak, yang sulung sudah kelas 4 SD sementara yang kedua masih balita. Saat Bunga ke kantor, dirumah ada asisten rumah tangga dengan Ibunya Bunga yang sudah menjanda dan memang sudah sejak lama tinggal bersama mereka. Bunga merasa sangat beruntung memiliki suami yang sangat menyayanginya dan keluarga, masuk kriteria tipe suami idaman. 

Sampai suatu ketika tanpa sengaja Bunga melihat percakapan mesra di inbox suaminya dengan seorang wanita muda yang bahkan masih mahasiswi. Bagai disambar petir disiang bolong, Bunga melolong, dunianya seperti runtuh. Apa salahnya sampai suaminya tega mengkhianatinya sedemikian rupa. Dialog yang penuh emosipun tak terelakkan lagi, rupanya kejadian ini baru seminggu, sejak Bunga sibuk merawat Ibunya yang sedang sakit, perhatian yang sebagian lagi tercurah untuk kedua buah hatinya dan pekerjaan di kantor yang sedang padat. Bunga memang sempat lalai memperhatikan suaminya, Bunga merasa suaminya baik-baik saja, memaklumi semua keadaan daruratnya. Tapi ternyata Bunga keliru, suaminya merasa kesepian, butuh kawan ngobrol dan merasa Bunga mengabaikan hak biologisnya yang sedang menggebu, layaknya pria yang hampir memasuki usia 40 tahun, sebagai dokter Bunga sebenarnya faham itu.

Yang disesalkan Bunga, mengapa suaminya tak mengkomunikasikan secara terbuka seperti yang biasanya mereka lakukan. Alasan suaminya, ia tak tega melihat Bunga yang kelelahan. Ketika Bunga menggali lebih dalam, suaminya mengakui bahwa seandainya diizinkan memang ia ada niat menikahi mahasiswi tersebut, asal Bunga memang ikhlas menerima keputusannya berpoligami. Bunga benar-benar tepuruk, tak menyangka akan mengalami tikaman sedahsyat ini. Sambil terisak-isak Bunga menegaskan bahwa ia tak sanggup diduakan dan kalau suaminya mau melanjutkan niatnya Bunga memilih bercerai. Bukannya Bunga menentang ayat poligami, tapi menurutnya ia belum sanggup kalau harus membagi hati, takut ia tak ikhlas sebagai istri yang akhirnya malah menjauhkannya dari syurga.

Singkat cerita akhirnya suaminya minta maaf dan berjanji tak akan menyakiti hati Bunga lagi. Meski berat, Bunga bersedia menerima maaf suaminya. Tapi ternyata si mahasiswi tak terima, dia merasa terdepak dan dengan segala cara masih mencuri-curi kesempatan untuk menyambungkan hati dengan suami Bunga, berbagai alasan dibuatnya dari minta nasehat sekaligus minta kasihani sebagai gadis yang tak bahagia karena terlahir dari orang tua yang bercerai. Sampai-sampai si mahasiswi membuatkan akun palsu atas nama 'Donald Duck' untuk suami Bunga agar mereka masih bisa chatt, dasar mahasiswi ganjen perusak rumah tangga orang. Suami Bunga juga masih menanggapi dengan alasan empatik. Syukurnya, lagi-lagi Bunga segera tahu, hatinya yang belum lagi sembuh dari luka kembali berdarah-darah. Perih seperti diiris sembilu, alangkah tega suaminya menghianatinya sampai bertubi-tubi. Kalaupun Bunga bersalah, tetap tak layak suaminya berlaku dzalim sepert itu. Bunga sampai stress berat, berhari-hari tak bisa tidur dan tidak ada nafsu makan, anak-anaknya terlantar, Ibu Bunga sampai merasa bersalah membuat anaknya kelelahan mengurusinya sakit. Pada suaminya Bunga benar-benar mati rasa, sampai terpikir mau bercerai, tapi anak-anak pasti menderita. Suami Bunga adalah Ayah terhebat dimata anak-anaknya. Bunga tahu anak-anak tak mungkin bahagia bila berpisah dari Ayahnya.

Disaat seperti itu, Bunga benar-benar limbung. Hanya pada Allah tempatnya bercerita, Bunga tak mungkin curhat pada kawan atau saudaranya, itu sama saja membuka aib suaminya, Bunga merasa emosinya masih begitu meraja, yang ada dalam ingatannya kala itu hanya kejelekan dan kesalahan suaminya saja. Hapus semua kebaikannya selama ini. Bunga trauma pada banyak hal, setiap suaminya memegang hp rasa curiganya kembali meluap-luap. Kota Bandung tempat mahasiswi ganjen itu tinggal adalah sebuah tempat yang terlarang untuk didatangi suaminya. Melihat boneka atau kata-kata 'Donald Duck' mampu membuatnya meneteskan air mata. Bagi Bunga inilah ujian terberat dalam hidupnya. Saat-saat sulit masa kecilnya sebagai anak yatim tak pernah dirasakan Bunga sebagai suatu derita. 

Suami Bunga sampai kehabisan kata untuk minta maaf. Bunga benar-benar berjuang melawan egonya demi anak-anak. Apalah artinya kebahagiaannya bila dibandingkan kebahagiaan anak-anak mereka. Akhirnya Bunga tak mau berlarut-larut, mereka berdamai. Meski manusiawi saja sampai saat ini kebencian Bunga pada mahasiswi penggoda itu masih membara. Dengan sadar Bunga diam-diam membuka akunnya dan sampailah pada satu kesimpulan memang dia kerjanya begitu, tebar-tebar pesona pada banyak laki-laki. Berharap dijadikan yang kedua. Syair lagi "Jadikan aku yang kedua, buatlah diriku bahagia" kerap diulangnya sebagai status fb-nya. Bunga juga membuka list pertemanan dan siapa saja yang rajin berkomentar, rata-rata adalah para lelaki yang tampaknya 'mapan' dan 'baik-baik'. Jauh dari kesan 'urakan', meski Bunga tak tahu siapa-siapa sajakah mereka itu, karena Bunga tak mau terlalu jauh. Cukup baginya untuk tahu siapa mahasiswi ganjen itu, ternyata tipe perempuan yang mau senangnya saja, tak mau berjuang merintis hidup susah dari bawah sehingga yang diincar adalah para pria yang sudah mapan. 

Saat ini Bunga memang sudah pulih, makanya ia memilih membagi kisahnya untuk dijadikan pelajaran, Bunga tahu aku suka menulis dan punya banyak kenalan. "Semoga bisa diambil hikmahnya Mbak", begitu pesan Bunga.

Bungapun mengakui, dulu sebelum kejadian itu. Bunga tak merasa perlu menghubungi suaminya disela-sela jam kerja, untuk sekedar bertanya keadaannya. Toch semuanya baik-baik saja. Bunga mengaku bahwa dirinya memang termasuk tipe perempuan mandiri, tegas dan tergolong kaku. Dalam hal bercinta Bunga juga tak merasa perlu beromantis ria, dulu Bunga juga nikah sama suaminya tak perlu pacaran, hanya dijodohkan saja. Itulah mengapa Bunga merasa rumah tangga mereka baik-baik saja selama sepuluh tahun lebih ini sampai prahara itu datang. Suaminya Bunga benar-benar bertaubat, dan sebagai istri yang baik Bungapun terus berbenah memperbaiki diri, belajar bahkan memaksa diri untuk bisa romantis pada suaminya. Sekarang Bunga makin meyakini bahwa kehidupan rumahtangga itu perlu diperjuangkan, agar bisa khusnul khotimah. 

Bahkan untuk urusan 'ranjang' Bunga sampai berani bilang kepada suaminya "Kapanpun Ayah meminta Bunda siap memberikan pelayanan terbaik, mau berapakali sehari juga oke. Kalaupun Bunda ogah-ogahan karena lelah, Ayah boleh paksa Bunda. Ayah jangan diam saja, sok nrimo, padahal mendongkol. Bunda lebih baik 'diperkosa' daripada diduakan". Aku sampai mesem geli mendengar komitmen Bunga. 

Aku peluk Bunga erat, banyak pelajaran yang dapat kuambil dari kisah seorang Bunga. Saat ini diluar sana memang makin banyak perempuan yang tak punya malu, mereka sudah kehilangan harga dirinya, mengoda dan merayu suami orang dengan cara yang tidak pantas. Para suamipun makin banyak yang kurang menyadari kewajibannya sebagai imam, hanya mengedepankan haknya saja. Ayat tentang poligami dijadikan andalan tanpa memahami syaratnya yang harus dipenuhi. Belum lagi era tekhnologi canggih zaman sekarang seringkali membuat orang terpedaya. Jadi teringat pernyataan seorang teman yang sampai enggan beli android, biar dech pakai hp jadul saja, alasannya takut terjerumus pada tipu daya dunia maya katanya. Menurutku, semuanya berpulang kepada kita, bagaimana kita mengambil manfaat dari tekhnologi, jangan justru sebaliknya tekhnologi yang mengendalikan kita. 

Adapun intinya dari kisah Bunga yang aku garis bawahi bahwa kita hidup diakhir zaman, rumah tangga kita sangat jauh bila hendak disandingkan dengan rumah tangganya Rasulullah, SAW dengan Bunda Khodijah, banyak sekali cacat celanya. Sebagai sepasang suami istri selayaknya kita bisa saling melengkapi, menguatkan dan mengingatkan. Terus belajar, terus berbenah memperbaiki diri. Silakan ikut pelatihan-pelatihan keluarga SAMARA atau baca-baca buku panduan tips meraih keluarga SAMARA. Berusaha selalu menjalin komunikasi aktif dengan pasangan, jangan hanya menunggu. Buat agenda liburan keluarga, hangatkan kembali suasana kebersamaan dalam keluarga. Jangan terjebak pada rutinitas, merasa berada di zona nyaman. Adalah salah bila membandingkan dengan kehidupan keluarga orangtua kita dulu yang baik-baik saja meski tak perlu bumbu-bumbu romantis ataupun penyegaran. Analoginya begini, sekarang kita hidup di bumi yang sudah makin banyak polusinya, jadi imunitas kita juga harus ditingkatkan. Jangan samakan dengan kondisi bumi zaman dulu yang semuanya masih serba segar alami, tanpa polutan berbahaya. Bila kita tidak mau meningkatkan imunitas, itu artinya kita akan dilibas polutan yang mengganas.