Episode Melek Finansial, Tentang Uang Saku
Sebetulnya masalah uang saku aku punya pengalaman sendiri. Seingatku sejak SMP, aku sudah ditempa untuk bisa mengelola uang saku selama 2 pekan, SMA dan kuliah diterapkan uang saku bulanan, ya….ya….awalnya kerepotan juga karena ini tak diawali dari kecil atau dimulai dengan rentang waktu yang lebih singkat dua hari pertama misalnya. Tanpa latihan tapi langsung ujian dan dipaksa harus lulus. Karena ketika SMP aku masuk asrama, terpisah dari orangtua dan ditengok 2 pekan sekali, bergantian oleh kedua orangtua. Syukurnya tak begitu banyak kendala.
Kalaulah ditela’ah dampaknya dikemudian hari memang ada, justru sangat jelas. Karena konsep uang saku yang belaku saat zaman aku sekolah dulu adalah kagetan, tanpa pembelajaran, mesti BISA tanpa difahamkan, harus cukup tanpa boleh minta tambahan karena orangtua jauh dan belum kenal metode transfer, artinya bisa karena terpaksa.
Adapun dampaknya yang paling terasa adalah saat sudah bisa punya uang sendiri aku kadang sering melakukan impulse buying (belanja yang tidak terencana). Sebenarnya aku sudah melakukan belanja bulanan, tapi kadang suka tergoda dengan diskon atau faktor lain, aku tidak berfikir panjang apakah sesuai kebutuhan seperti saat sekolah dulu, yang takut kehabisan uang saku, toch sekarang aku seperti bersekongkol dengan yang namanya pembenaran, nanti kan bisa minta suami atau cari lagi.
Adalagi penyebabnya, saat mau pergi anak-anak pesan :
”Mi, nanti beli Es Krim ya..” atau “beli buku dan mobilan ya....”
Serta merta aku ”IYA” kan, karena merasa ingin membuat mereka senang, toch berapa juga harganya, tak begitu mahal. Tapi pesan apa yang sudah aku sampaikan pada anak-anakku.
”Boleh punya keinginan apa saja, kapan saja maka akan kupenuhi Nak...agar kalian bahagia”
Begitukah ? Bukan soal harganya yang kurang dari lima ribu. Lebih dari itu mereka tanpa sadar sudah kulatih untuk dikendalikan oleh keinginan. Tanpa sengaja aku sudah mendidik mereka bermental pasif, menjerumuskan mereka pada pola belanja berbasis keinginan bukan kebutuhan, terlalu mudah mendapatkan sesuatu, tanpa harus keras berjuang. Yang paling tampak, ternyata aku sudah mewariskan pola belanja yang tidak terencana pada anak-anakku. Mengarah pada pola konsumtif. Padahal jelas aku tak ingin ini terjadi pada anak-anakku.
***
Pada kenyataannya, banyak orangtua mengajarkan cara menabung, *menabung yang sangat konvensional :)
”Ini uang untuk nabung ya Nak...”
Bagus memang, tapi perlu dikaji lagi ini yang mau nabung anak atau orangtuanya.
Disatu sisi, banyak orangtua yang tidak mengajarkan cara mengelola uang. Tak ada panduan cara membelanjakan uang, cukupkah kasih uang saat anak meminta, belilah sesuai keinginan, tak ada rencana, tak ada diskusi, boleh minta kapan saja, asal tidak dalam jumlah yang besar, kalaupun sesekali dikasih Yai Nyai ( Kakek Nenek) boleh belanja ini itu, asal tidak semaunya, sisanya ditabung, Hmm..lagi-lagi orangtua yang ngatur, akupun begitu, ikut-ikutan. Ya itu yang aku dapat dan ”nyaris” kebablasan turut menurunkannya.
Sampai suatu waktu aku membaca buku tentang kecerdasan finansial sejak dini, *lupa judul dan pengarangnya, sudah berusaha saya cari, tapi belum ketemu, tak ada jejaknya, hiks. Dari buku itu aku mendapat pencerahan, bahwa sesungguhnya konsep uang saku justru akan melatih anak untuk me-manej uangnya. Walau aku tak serta merta menerapkan konsep uang saku dalam buku itu. Karena deskripsinya uang saku untuk satu pekan. Pada anak kelas 3 atau 4 SD. Jelas dan fokus isinya. Membuatku terkesan, dan berjanji akan menerapkannya beberapa tahun lagi.
Tapi fakta berkata lain, ada pengalaman teman, ada juga yang kualami sendiri.
Suatu ketika seorang temanku dengan panik bercerita, bahwa anaknya diberi uang 100 ribu oleh temannya. Jumlah yang besar *paling tidak menurutku, untuk anak kelas 3 SD. Selidik punya selidik, si- teman anak seorang pejabat diatas Kepala Dinas yang juga seorang pengusaha sucses, yang biasa mengantongi uang 1 juta/hari kesekolahnya.
Panik ?? Boleh saja, asal bukan kepanikan yang membuat tak enak makan dan tak nyenyak tidur, dan semoga kepanikan yang melahirkan kesadaran bahwa kita wajib memberikan vaksinasi, vitamin dsb agar ”imunitas” anak-anak kita optimal terkhusus yang berhubungan dengan uang. Karena anak-anak punya lingkungan sekolah dan bermain yang tidak ”steril”, dan kita tak bisa ada disamping mereka sepanjang waktu.
Adalagi, anak sulungku saat di TK punya cerita heboh, ada kejadian pembobolan uang infaq di kelasnya. Diprovokasi oleh seorang siswi. Cerita Bunda Asiah, guru kelasnya membuat aku membuncah haru, saat sebagian anak ikut membelanjakan uang infaq ke kantin sekolah, sulungku tidak. Dan apa jawabannya saat ditanya mengapa tak ikutan.
”Yunda takut dengan Allah ”
Duch....tak tertahan kan airmata bahagia ini Nak, betapa bangga punya anak sepertimu.
Alhamdulillah konsep ma’rifatullah tertanam dengan baik. Selebihnya tentang kecerdasan finansial yang harus dimatangkan lagi, tadinya aku berniat memulainya saat Yunda SD kelas 3. Ternyata pengalaman ini menyadarkanku, sepertinya harus lebih awal.
Jujur sejak itu mulai memperbanyak membaca refrensi tentang kecerdasan finansial. Khusus pada konsep uang saku diperdalam lagi. Sharing dengan teman juga lebih intensif kulakukan. Kapan tepatnya mereka dikenalkan pada konsep uang saku, pola pemberian bahkan seberapa besar yang ‘pas’ untuk mereka. Mulai dari yang paling mungkin, paling mudah pengawasannya. Dan akupun mulai PD melatih mereka punya uang saku sendiri. Yang tentu disertai dengan memahamkan pakai bahasa mereka. Karena jarak umur kedua anak saya tak begitu jauh, terpaut 1,5 tahun, jadi sekali jalan.
- Yunda hampir 7 tahun uang sakunya Rp.10.000,-/ pekan. Awalnya pertengahan kelas 1 SD, uang sakunya Rp. 1.000,-/ hari. Kecuali kalau nanti ada les atau sumbangan lain, dan ini diluar makan siang.
- Akang 5 tahunpun sama, Rp.1.000,-/hari, ada snack dari sekolah. Belakangan Akang malah tak berminat lagi untuk minta uang sakunya, karena ada peraturan di TK-nya untuk tidak membawa uang saku.
Uangnya boleh buat apasaja, termasuk nabung atau infaq di Sekolah. Awalnya ada rengekan disana sini, minta tambah karena tadi uang sakunya sudah buat beli stick Ipin Upin, jadi habis, trus pengen beli yang lain ( ini khasnya Akang). Tak ada tambahan, boleh nangis, boleh kesel, tetap tak ditambah, atau pernah juga jatah besok diminta hari ini, tapi yakinkan besok tak akan diberi lagi. Mau merayu atau melengking sama saja. Betapa buahnya mulai terlihat. Belum sampai sebulan sejak pemberlakuan uang saku harian pada mereka. Sudah ada serangkaian cerita. Tentang nasib uang saku mereka.
Memang sesekali Yunda masih pengen uang sakunya ditambah, buat nabung.
”Masak nabung 1.000,- Kawan-kawan Yunda nabung 10.000,- bahkan lebih Mi...”
Ku tanya begini, ”Jadi Yunda pengennya berapa Nak...”
”2.000,- ”, jawabnya. Kirain berapa :) Jadi PR-ku untuk membuatnya tak tergiur besarnya uang kawan.
Menjadi lebih simple karena masalah Es Kriim dan belanja buku, sudah kuselesaikan terlebih dulu, *nanti kapan-kapan akan ku tulis sendiri. Boleh ada Es Kriim dan buku, sesuai jadwal yang sudah disepakati, dalam syuro yang selalu ramai plus lucu. Seiring waktu berjalan aku mulai menyiapkan mereka. Untuk jangka waktu yang lebih lama. Masih dalam tahap analisa. Agar tak kaget sepertiku, hu hu... Berproses !!!
Lebih dari semua itu aku tersadar, bahwa sebagai orangtua sudah saatnya aku menambah wawasan mereka tetang uang. Tentang kecerdasan financial atau aku lebih suka istilah ”MELEK FINANSIAL” dan ternyata dalam ilmu Melek Finansial ada tingkatan yang lebih tinggi daripada menglola uang. Dalam buku Rich Dad, Poor Dad. Kisah orang-orang terkaya didunia, bagaimana kita bisa menghasilkan uang sedini mungkin, menghasilkan, menciptakan uang sejak kecil. Tak hanya sekedar mengelola uang yang sudah ada. Waaw lebih dahsyat, akupun ingin. Ini butuh “ belajar cepat”, hanya masalah waktu. Kedepan kitapun harus BISA. Dan kesadaran akan melek financial sejak dini ini harus kutularkan. Mengajak orang-orang terdekat.
“Dan hendaklah takut orang-orang yang meninggalkan teturunan di belakang mereka dalam keadaan lemah yang senantiasa mereka khawatiri . Maka dari itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengatakan perkataan yang lurus benar.” (An Nisaa’ 9)
Ya. Salah satu pinta yang sering diulang Ibrahim dalam doa-doanya adalah mohon agar diberi lisan yang shidiq. Dan lisan shidiq itulah yang agaknya ia pergunakan juga untuk membesarkan puteranya sehingga mereka menjadi anak-anak yang tangguh, kokoh jiwanya, mulia wataknya, dan mampu melakukan hal-hal besar bagi ummat dan agama. Kita? Mari sejenak kita renungkan tiap kata yang keluar dari lisan dan didengar oleh anak-anak kita. Sudahkah ia memenuhi syarat sebagai Qaulan Sadiidaa, kata-kata yang lurus, benar, sebagaimana diamanatkan oleh ayat di Surat An Nisaa’ tersebut ? Ataukah selama ini dalam membesarkan mereka kita hanya berprinsip “asal tidak menangis” atau ”asal anak bahagia”. Padahal baik agama, ilmu jiwa, ilmu psikologi juga ilmu perilaku menegaskan bahwa menangis itu penting dan bahagiapun bisa dengan airmata.
***
Pertengahan Mei 2010, tapi baru bisa edit sana-sini sekarang, sembari menikmanti proses. Kalaulah ada getah, semoga laksana gaharu. Manfaat saja terasa :)
Diposting ulang untuk memeriahkan LOMBA cinta seorang ibu di 13 tahun sulungnya yang sholeh dan jalan membentang menjadi pengusaha kaos anak sholeh
Buruan ikutan yuuukkkkk !!!!