Sebuah Kompilasi
Wanita-wanita pengukir sejarah. Sebuah judul yang menggetarkan, hmmmm.....ya setidaknya ini kesan pertama saat aku mendengarnya. Apa ya TIKnya? batinku selanjutnya.Tapi apapun itu, inilah yang berhasil kurangkum dari buanyak sumber, semoga bermanfaat :)
PROLOG
Dengan menyebut Nama Allah. Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, segenap keluarga, para sahabat dan generasi penerusnya.
Sejarah, babad, hikayat, riwayat, atau tambo dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau atau asal-usul (keturunan) silsilah, terutama bagi raja-raja yang memerintah. Adapun ilmu sejarah adalah ilmu yang digunakan untuk mempelajari peristiwa penting masa lalu manusia. Pengetahuan sejarah meliputi pengetahuan akan kejadian-kejadian yang sudah lampau serta pengetahuan akan cara berpikir secara historis. Orang yang mengkhususkan diri mempelajari sejarah atau ahli sejarah disebut sejarawan.
Pengukir sendiri berasal dari kata ‘ukir’ yang berarti yang menoreh, yang memahat atau orang yang membuatnya ukiran atau orang yang membuat kenangan dalam hati.
Sejarah Islam dipenuhi dengan peristiwa besar dan berpengaruh terhadap peradaban.
Kita berada di sini, saat ini, dan dalam kondisi seperti ini adalah buah dari karya besar para pendahulu kita. Karena jasa merekalah saat ini kita menikmati kehidupan seperti sekarang. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah kita mengenang, mengingat, mempelajari, dan meneladani kehidupan dan perjuangan mereka.
“Barang siapa yang tidak berterimakasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah.” (HR Ahmad dan Tirmidzi).
Tak terkecuali orang-orang besar yang telah mengukirkan karyanya dalam sejarah adalah wanita-wanita Islam. Para muslimah tersebut bahu membahu, berkontribusi dan turut berjuang bersama kaum lelaki dalam membela yang hak.
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”
(QS Yusuf: 111)
Musuh-musuh Islam tahu bahwa wanita merupakan salah satu unsur kekuatan masyarakat Islam.
Musuh-musuh Islam telah menempuh berbagai cara untuk merusak wanita muslimah. Oleh karena itulah, kita harus kembali mengungkap kembali profil dan meneladani perjuangan wanita-wanita muslimah sebagai bekal untuk mengangkat harkat dan derajat wanita muslimah. Setiap pejuang muslimah memiliki keistimewaan dan sarat dengan nilai-nilai positif yang telah mengukirkan sejarahnya dalam sejarah Islam.
|
HKN 2009, Pisang Baru |
| |
Berikut kita bisa menyimak beberapa profil dan meneladani para pejuang wanita Islam sepanjang sejarah.
Khadijah RA binti Khuwailid.
Nama lengkapnya Khadijah binti Khuwailid bin As’ad bin Abd Al Uzza’. Ia dilahirkan di Makkah tahun 68 sebelum hijrah. Ia adalah wanita yang sukses dalam perniagaan, seorang saudagar wanita terhormat dan kaya raya. Pada masa jahiliyah ia dipanggil Ath Thaharoh (wanita suci) karena ia senantiasa menjaga kehormatan dan kesucian dirinya. Orang-orang Quraisy menyebutnya sebagai pemimpin wanita Quraisy.
Rasulullah bersabda tentang Khadijah, “Allah tidak menggantikan untukku wanita yang lebih baik darinya. la beriman kepadaku di saat orang lain ingkar kepadaku, ia mempercayaiku di saat orang lain mendustakanku, ia menolongku dengan hartanya di saat orang lain tidak ada yang menolongku, dan Allah telah mengaruniakan kepadaku putra (dari hasil perkawinan dengan) nya sedang wanita-wanita lain tidak.”
Keistimewaan Khadijah, RA:
1 . Ia adalah wanita yang pertama kali memeluk Islam, yang pertama sholat bersama Nabi. Ia beriman kepada Nabi disaat semua orang kafir padanya.
2. Ia adalah wanita pertama yang dijamin masuk surga bahkan ia mendapat kabar gembira dari Allah, bahwa Allah telah membangunkan bagi rumah di surga. Salah satu dari 4 wanita penghulu surga.
Abu Hurairah RA menyatakan bahwa Jibril datang kepada nabi saw seraya berkata, “Wahai Rasulullah, Khadijah sedang berjalan kemari. Ia membawa wadah yang berisi kuah, makanan atau minuman. Jika ia sampai kepadamu, maka katakanlah bahwa Tuhannya dan aku menyampaikan salam kepadanya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepadanya bahwa ia mendapat sebuah rumah di dalam surga”. (Mutafaq ‘alaih)
3. Manusia pertama yang mendapat salam dari Allah yang disampaikan dari langit ke tujuh. Ia pantas menerimanya karena selalu setia mendampingi Nabi dalam kondisi seperti apapun.
Anas RA meriwayatkan bahwa ketika Jibril datang kepada Rasulullah saw yang sedang berduaan dengan Khadijah RA, Jibril berkata, “Sesungguhnya Allah menyampaikan salam kepada Khadijah”. Khadijah membalas, “Sesungguhnya Allah-lah As Salaam (Maha Pemberi Kesejahteraan). Sebaliknya kuucapkan salam kepada Jibril dan kepadamu. Semoga Allah melimpahkan kesejahteraan, rahmat dan berkahNya kepadamu.” (HR An Nasa’i)
4. Wanita pertama yang layak dikategorikan shiddiq di antara wanita mukmin lainnya.
5. Mengorbankan seluruh hartanya untuk kepentingan Nabi
6. Wanita yang memberikan keturunan bagi Nabi
7. Wanita yang matang dan cerdas, pandai menjaga kesucian, dan terpandang bahkan sejak masa jahiliyah dan diberi gelar Ath Thahiroh (wanita yang suci). Ia adalah orang yang terhormat, taat beragama dan sangat dermawan.
Asma’ binti Abu Bakar.
Nama lengkapnya adalah Asma’ binti Abdullah bin Utsman Abi Bakar As-Sidik. Lahir pada tahun 27 sebelum Hijriyah, dan termasuk orang-orang pertama yang masuk Islam (Assabiqun Awwalum). Menikah dengan Zubair bin Awwab yang dikenal sebagai salah satu dari orang-orang yang telah dijanjikan masuk surga. Bahkan ia merupakan ibu dari Abdullah bin Zubair yang dikenal sebagai salah satu dari ke empat orang-orang terkemuka dalam bidang Hadits (al Ibadalah al Arbaah). Maka tidaklah mengherankan sekali, jika kelahirannya pula merupakan kelahiran pertama yang dirayakan di Madinah. Dan tak hanya itu saja, ayah, ibu, suami, anak, dan saudara perempuan Asma’ bin abu Bakar, merupakan sahabat-sahabat Nabi yang setia.
Dalam sebuah riwayat dari Bukhari dicertakan bahwa Asma r.ha. sendiri pernah menceritakan tentang keadaan hidupnya.
"Ketika aku menikah dengan Zubair r.a., ia tidak memiliki harta sedikit pun, tidak memiliki tanah, tidak memiliki pembantu untuk membantu pekerjaan, dan juga tidak memiliki sesuatu apa pun. Hanya ada satu unta milikku yang biasa digunakan untuk membawa air, juga seekor kuda. Dengan unta tersebut, kami dapat membawa rumput dan lain-lainnya. Akulah yang menumbuk kurma untuk makanan hewan-hewan tersebut. Aku sendirilah yang mengisi tempat air sampai penuh. Apabila embernya peceh, aku sendirilah yang memperbaikinya. Pekerjaan merawat kuda, seperti mencarikan rumput dan memberinya makan, juga aku sendiri yang melakukannya. Semua pekerjaan yang paling sulit bagiku adalah memberi makan kuda. Aku kurang pandai membuat roti. Untuk membuat roti, biasanya aku hanya mencampurkan gandum dengan air, kemudian kubawa kepada wanita tetangga, yaitu seorang wanita Anshar, agar ia memasakkannya. Ia adalah seorang wanita yang ikhlas. Dialah yang memasakkan roti untukku."
Ketika Rasulullah saw. sampai di madinah, maka Zubair r.a. telah diberi hadiah oleh Rasulullah saw. berupa sebidang tanah, seluas kurang lebih 2 mil (jauhnya dari kota). Lalu, kebun itu kami tanami pohon-pohon kurma. Suatu ketika, aku sedang berjalan sambil membawa kurma di atas kepalaku yang aku ambil dari kebun tersebut. Di tengah jalan aku bertemu Rasulullah saw. dan beberapa sahabat Anshar lainnya yang sedang menunggang unta. Setelah Rasulullah saw melihatku, beliau pun menghentikan untanya. Kemudian beliau mengisyaratkan agar aku naik ke atas unta beliau. Aku merasa sangat malu dengan laki-laki lainnya. Demikian pula aku khawatir terhadap Zubair r.a. yang sangat pencemburu. Aku khawatir ia akan marah. Memahami perasaanku, Rasulullah membiarkanku dan meninggalkanku. Lalu segera aku pulang ke rumah.
Setibanya di rumah, aku menceritakan peristiwa tersebut kepada Zubair r.a. tentang perasaanku yang sangat malu dan kekhawatiranku jangan-jangan Zubair r.a. merasa cemburu sehingga menyebabkannya menjadi marah. Zubair r.a berkata,
"Demi Allah aku lebih cemburu kepadamu yang selalu membawa isi-isi kurma di atas kepalamu sementara aku tidak dapat membantumu."
Setelah itu Abu Bakar, ayah Asma r.ha., memberikan seorang hamba sahaya kepada Asma. Dengan adanya pembantu di rumahnya, maka pekerjaan rumah tangga dapat diselesaikan dengan ringan, seolah-olah aku telah terbebas dari penjara.
Ketika Abu Bakar ash-shidiq r.a. berhijrah, sedikit pun tidak terpikirkan olehnya untuk meninggalkan sesuatu untuk keluarganya. Ia berhijrah bersama-sama Rasulullah saw.
Untuk keperluan itu, seluruh kekayaan yang ia miliki, sejumlah lebih kurang 5 atau 6 dirham dibawa serta dalam perjalanan tersebut. Setelah kepergiannya, ayah Abu Bakar r.a. yakni Abu Qahafah yang buta penglihatannya dan sampai saat itu belum masuk Islam mendatangi cucunya, Asma r.ha. dan Aisyah r.ha. agar mereka tidak bersedih karena telah ditinggal oleh ayahnya. Ia berkata kepada mereka, "Aku telah menduga bahwa Abu Bakar r.a. telah menyebabkalian susah. Tentunya seluruh hartanya telah dibawa serta olehnya. Sungguh ia telah semakin banyak membebani kalian."
Menanggapi perkataan kakeknya, Asma r.ha. berkata, "Tidak, tidak, wahai kakek. Ayah juga meninggalkan hartanya untuk kami." Sambil berkata demikian ia mengumpulkan kerikil-kerikil kecil kemudian diletakkannya di tempat Abu Bakar biasa menyimpan uang dirhamnya, lalu ditaruh di atas selembar kain. Kemudian dipegangnya tangan kakeknya untuk merabanya. Kakeknya mengira bahwa kerikil yang telah dirabnya itu adalah uang. Akhirnya kakeknya berkata, "Ayahmu memang telah berbuat baik. Kalian telah ditinggalkan dalam keadaan yang baik." Sesudah itu, Asma r.ha. berkata, "Demi Allah, sesungguhnya ayahku tidak meninggalkan harta sedikit pun. Aku berbuat demikian semata-mata untuk menenangkan hati kakek, supaya kakek tidak bersedih hati."
Asma r.ha. memiliki sifat yang sangat dermawan. Terlebih saat mendengar Rosulullah bersabda:
"Hendaklah kalian selalu meningkatkan diri dalam membelanjakan harta di jalan Allah, jangan menunggu-nunggu kelebihan harta kita dari keperluan-keperluan kita (yaitu jika ada sisa harta setelah dibelanjakan untuk keperluan membeli barang-barang, barulah sisa tersebut disedekahkan.) Jangan kalian berpikir tentang sisanya. Jika kalian selalu menunggu sisanya, sedangkan keperluan kalian bertambah banyak, maka itu tidak akan mencukupi keperluan kalian sehingga kita tidak memiliki kesempatan untuk membelanjakannya di jalan Allah. Jika keperluan itu disumbangkan di jalan Allah, maka kalian tidak akan mengalami kerugian selamanya."
Akhirnya setelah mendengar nasihat ini, Asma r.ha. semakin banyak menyumbangkan hartanya. Ia juga selalu menasehati anak-anak dan perempuan-perempuan yang ada di rumahnya.
Ia meriwayatkan 56 Hadits Nabi, dan 26 di antaranya terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Asma’ bin Abu Bakar meninggal dunia di Mekah pada usia seratus tahun. Anehnya pada usia yang begitu lanjut itu, tak ada satu pun giginya yang patah, dan otaknya masih sangat sehat dan berjalan sebagaimana mestinya, tidak sebagaimana orang-orang tua lainnya. Ia merupakan orang Muhajirin yang terakhir meninggal dunia.
Al Khansa’
la adalah binti Umar bin Kharis bin Syarit. la masuk Islam di saat mendatangi Nabi bersama dengan Bani Syulaim. Semua pakar keilmuan telah sepakat bahwa tak ada seorang wanita pun, baik sebelum Khansa’ maupun sesudahnya, yang dapat menandingi kepiawaiannya dan bersyair. Ia dinobatkan sebagai penyair paling mahir di Arab secara mutlak.
Dan setelah ia masuk Islam, ia pun berujar “dulu aku menangisi kehidupanku, namun sekarang, aku menangis karena takut akan siksa neraka.” Keempat anaknya pernah diberi hadiah oleh Umar bin Khathab, masing-masing dari mereka sebanyak 400 dirham.
Al Khansa’ terlibat pula dalam sebuah perang suci bersama ke empat anak laki-lakinya. la berkata kepada mereka “wahai anak-anakku! Kalian semua masuk Islam secara taat, tanpa ada tekanan dari siapapun. Kalian sendiri yang telah memilih hijrah. Demi Allah yang tak ada lagi Tuhan selain-Nya, kalian semua adalah laki-laki yang berasal dari satu wanita. Jangan kamu permalukan ayah, bibi, saudara, dan garis keturunanmu. Kalian semua telah mengetahui betapa besar pahala yang akan diberikan Allah kepada orang-orang yang memerangi orang-orang kafir. Ketahuilah kalian semua! Bahwa kehidupan akhirat lebih utama daripada kehidupan dunia.
Allah Subhanahu wa Taala Berfirman “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (AH Imran: 200), dan insya Allah kalian semua akan menyambut pagi dengan , selamat. Dan pada saat menjelang siang, berangkatlah kalian memerangi orang-orang kafir dengan penuh kecermatan. Allah akan selalu menjadikan musuh-musuhnya itu sebagai kaum yang kalah. Dan apabila kalian semua melihat peperangan telah berkecamuk, hadapilah dengan penuh semangat dan kelapangan hati.”
Berangkatlah anak-anak Al Khansa’ menuju medan perang dengan memegang teguh nasihat-nasihat dari ibunya. Mereka semua akhirnya mati terbunuh dalam peperangan itu. Namun, itu tak menjadikan Al Khansa’ merasa sedih. Mendengar kabar ten tang kematian anak-anaknya di medan perang, ia malah bersyukur kepada Allah. la berkata “segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan cara mematikan anak-anakku dalam keadaan syahid. Aku memohon kepada Allah agar bersedia menyatukanku kembali dengan anak-anakku di surga nanti.
Al Khansa’ meninggal dunia pada tahun 24 Hijriyah.
Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah bin Ismail al-Adawiyah al-Bashriyah al-Qaisiyah.
Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H / 713 M atau 99 H / 717 M di suatu perkampungan dekat kota Basrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H / 801 M.
Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin.
Itulah sebabnya orang tuanya menamakan Rabi’ah. Kedua orang tuanya meninggal ketika ia masih kecil. Konon pada saat terjadinya bencana perang di Basrah, ia dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu Adwah. Dari sini ia dikenal dengan al-Qaisiyah atau al-Adawiyah. Pada keluarga ini ia bekerja keras, namun kemudian ia dibebaskan karena tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala Rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah.
Setelah dimerdekakan tuannya, Rabi’ah hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai zahidah dan sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya hanya dengan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak tobat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan oleh orang lain kepadanya. Bahkan dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.
Rabi’ah al-Adawiyah telah dewasa dalam tapaan, dan tidak pernah berpikir berumah tangga.
Bahkan akhirnya memilih hidup zuhud, menyendiri, beribadah kepada Allah.
Ia tidak pernah menikah, karena ia tidak ingin perjalanannya menuju Tuhan mendapat rintangan.
Perkawinan, baginya adalah rintangan. Ia pernah memanjatkan doa :
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari segala perkara yang menyibukkanku untuk menyembah-Mu. Dan dari segala penghalang yang merenggangkan hubunganku dengan-Mu.”
Di antar mereka yang mencoba membujuknya untuk menikah adalah Abdul Wajid bin Zaid, yang termasyur dalam kezuhudan dan kesucian hidupnya, seorang ahli ilmu agama, seorang khatib, dan penganjur hidup menyepi bagi siapa saja yang mencari jalan kepada Tuhan. Rabi’ah menolak lamarannya dan berkata :
“Hai orang yang sangat bernafsu, carilah wanita lain yang juga sangat bernafsu sebagaimana dirimu. Apakah kau melihat ada tanda birahi dalam diriku?”
Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, Amir Abbasiyah untuk Basrah pada saat itu, juga pernah melamar Rabi’ah. Setelah mendiskusikannya dengan para pejabat di Basrah, dia menawarkan mas kawin seratus ribu dinar dan menulis surat kepada Rabi’ah bahwa dia memiliki gaji sepuluh ribu dinar tiap bulan dan semua itu akan dilimpahkan kepada Rabi’ah. Tetapi Rabi’ah membalas surat itu dengan :
“Hal itu tidaklah menyenangkanku, kamu akan menjadi budakku dan semua yang kau miliki akan menjadi milikku, atau kamu akan memalingkan aku dari Tuhan dalam sebuah pertemuan abadi.”
Versi lain lamaran tersebut mengatakan bahwa Amir mengumumkan kepada masyarakat Basrah, meminta mereka untuk mencarikan seorang isteri baginya. Mereka sepakat memilih Rabi’ah. Dan ketika ia menulis surat kepada Rabi’ah, mengutarakan keinginannya, jawaban Rabi’ah :
“Sesungguhnya zuhud kepada dunia memberikan ketenangan, sedangkan terlalu mendambakan dunia menimbulkan keprihatinan dan kesedihan. Karena itu persiapkanlah dirimu dan dahulukanlah tempatmu kembali. Hendaklah engkau mengurus dirimu sendiri. Dan janganlah engkau andalkan orang lain mengurus kepentinganmu, karena mereka akan membagi-bagikan warisanmu. Lakukanlah puasa sebanyak-banyaknya, dan jadikanlah kematian sebagai hari besarmu.
Mengenai aku sendiri, walaupun Allah telah melimpahkan kekayaan sebanyak yang telah dilimpahkan-Nya kepadamu, atau berlipat ganda dari itu, aku sama sekali tidak akan berbahagia meninggalkan zikir kepada Allah, walaupun hanya sekejap.”
Kisah lain menceritakan Hasan Basri yang dalam sebuah majelis sufi, mendesak Rabi’ah agar memilih seorang di antara para sufi sebagai suami. Rabi’ah memberikan jawaban :
“Ya, baiklah. Siapa yang pandai di antara kalian, yang memungkinkan aku akan menikah dengannya?” Para sufi sepakat menjawab : “Hasan Basri.” Lalu Rabi’ah mengajukan empat pertanyaan : ”Pertama, apakah hakim dunia akan bertanya saat aku mati? Adakah aku saat meninggal dunia dalam keadaan muslim ataukah kafir?
Kedua, kapan aku masuk dalam kubur, dan jika Munkar-Nakir menanyaiku, mampukah aku menjawab mereka?
Ketiga, kapan manusia dikumpulkan pada hari kebangkitan dan buku-buku dibagikan? Berapa yang menerima buku dengan tangan kanan dan berapa dengan tangan kiri?
Keempat, kapan umat manusia dikumpulkan pada hari pengadilan, berapa yang masuk surga dan berapa yang ke neraka, di antara kedua kelompok itu, kelompok manakah aku?”
Hasan Basri tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut karena hanya Allah yang mengetahuinya. Kemudian Rai’ah berkata :
“Karena aku mempunyai empat pertanyaan yang merupakan keprihatinan pribadiku, bagaiman aku akan menemukan seorang suami yang tidak dapat menjadi tempat bersandar?”
Berbagai sumber menyebutkan bahwa Rabi’ah wafat pada tahun 185 H / 801 M. sedangkan tempat wafat dan makamnya tidak diketahui secara pasti. Ada yang menyebutkan ia dikuburkan di Jerussalem (al-Quds al-Syarif) di atas sebuah bukit. Tetapi sumber yang lebih kuat menyebutkan bahwa Rabi’ah wafat di Basrah, daerah Syam (Syiria).
Dalam Islam, ajaran cinta kepada Allah bukan hal baru, karena sejak semula Rasulullah memang telah mengajarkan ajaran cinta tersebut. Dalam dunia tasawuf pun sejak masa awal asketisme (zuhud), cikal bakal tasawuf, cinta merupakan salah satu langkah yang harus ditempuh oleh seorang zahid. Hasan Basri, zahid sebelum Rabi’ah, juga pernah bicara tentang cinta. Ia mengatakan :
“Barangsiapa mengenal Rabbnya maka dia akan mencintai-Nya, dan barangsiapa mengenal dunia maka dia bersikap zuhud. Bagaimana dapat digambarkan orang mencintai dirinya sendiri dan tidak mencintai Rabbnya, yang menciptakan keberadaan dirinya?”
Tetapi dalam kenyataannya, kepada Rabi’ah lah dirujukkan pemakaian kata cinta dalam kalangan para sufi. Sajak Rabi’ah, cinta kepada Allah menjadi perbincangan utama kaum sufi. Sebelumnya yang menjadi perbincangan utama adalah khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan).
Hasan Basri telah merintis aliran asketisme dalam Islam berdasarkan rasa takut dan harap, dan Rabi’ah merintis jalan cinta kepada Allah.
Untuk memperjelas pengertian al-Hubb yang diajukan Rabi’ah, yaitu Hubb al-Hawa dan Hubb anta ahl lahu, perhatikanlah tafsiran beberapa tokoh berikut. Abu Thalib al-Maliky dalam Qud al-Qulub—sebagaimana dijelaskan Badawi—memberikan penafsiran bahwa makna Hubb al-Hawa adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah. Adapun yang dimaksud nikmat-nikmat adalah nikmat-nikmat materiel, tidak sprituil, karenanya hubb di sini bersifat hubb indrawi. Walaupun demikian, hubb al-hawa yang diajukan Rabi’ah ini tidak berubah-ubah, tidak bertambah dan berkurang karena bertambah dan berkurangnya nikmat. Hal ini karena Rabi’ah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi sesuatu yang ada dibalik nikmat tersebut. Adapun al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat yang dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa-apa. Kewajiban-kewajiban yang dijalankan Rabi’ah timbul karena perasaan cinta kepada Dzat yang dicintai. Rabiah mengungkapkan hal ini dalam sebuah syair berikut :
“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu.
Cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingatkan-Mu,
Cinta karena diri-Mu adalah keadaanku mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat.
Baik ini maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku.
Bagi-Mu pujian untuk kesemuanya.”
Sementara itu, Al-Ghazali memberikan ulasan tentang syair Rabi’ah sebagai berikut,
“Mungkin yang dimaksud oleh Rabi’ah dengan cinta karena dirirnya adalah cinta kepada Allah karena kebaikan dan karunia-Nya di udnia ini. Sedangkan cinta kepada-Nya adalah karena Ia layak dicintai keindahan dan keagungan-Nya yang tersingkap kepadanya. Cinta yang keduua merupakan cinta yang paling luhur dan mendalam serta merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan. Hal ini seperti disabdakan dalam hadits qudsi, “Bagi hamba-hamba-Ku yang saleh Aku menyiapkan apa yang tidak terlihat mata, tidak didengar telinga, dan tidak terbersit di kalbu manusia.”
Cinta Rabi’ah kepada Allah begitu mendalam dan memenuhi seluruh relung hatinya, sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan. Hal ini seperti terungkap dalam syairnya :
“Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu.
Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku.
Dengan temanku tubuhku bercengkrama selalu.
Dalam kalbu terpancar selalu kekasih cintaku.”
Dalam kesempatan bermunajat, Rabi’ah kerapkali menyampaikan,
“Wahai Tuhanku, tenggelamkan aku dalam mencintai-Mu, sehingga tidak ada yang menyibukkan aku selain diri-Mu. Ya Tuhan, bintang di langit telah telah gemerlapan, mata telah bertiduran,pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap pecinta telah menyendiri dengan yang dicintai, dan inilah aku berada di hadirat-Mu.”
Hal tersebut juga disinggung Rabi’ah dalam sebuah syair :
“Aku mengabdi kepada Tuhan
bukan karena takut neraka….
Bukan pula karena mengharap masuk surga….
Tetapi aku mengabdi, karena cintaku pada-Nya
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu,
karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu,
karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu,
demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan
memperlihatkan keindahan wajah-Mu
yang abadi padaku”
Dari pemabahasan tentang Rabi’ah al-Adawiyah di atas, dapat disimpulankan bahwa Rabi’ah al-Adawiyah seorang sufiah yang merentas jalan berbeda dibanding kebanyakan orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah pada masanya. Sebelumnya para sufi mendekatkan diri dengan jalan khauf wa raja’, yaitu rasa takut dan pengharapan kepada Allah. Namun Rabi’ah mengenalkan dan mengajukan jalan lain yaitu mahabbah (cinta Illahi), sehingga beribadah atau mengabdi kepada Tuhan secara tulus ikhlas tanpa rasa terpaksa. Bukan karena merasa takut pada neraka atau karena mengharap surga, karena bagi Rabi’ah beribadah seperti ini berarti beribadah dengan pamrih kepada Allah.
Zainab Al-Ghazali
Dia terlahir di wilayah Al-Bihira, Mesir pada 1917, dan merupakan keturunan dari kalifah kedua Islam, Umar bin Khattab dan Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ketika masih berusia sangat muda, 10 tahun, Zainab Al-Ghazali telah memperlihatkan kepandaian dan kelancarannya dalam berbicara di depan umum. Dan sepanjang hidupnya, dia lantas membentuk dirinya sebagai orang yang berhasil belajar secara otodidak. Ambisinya yang kuat dan tekadnya yang membara, membuatnya maju untuk mencapai jenjang pendidikan tinggi, pada saat kaum wanita pada saat itu jarang yang mengenyam pendidikan karena dianggap tabu.
Saat menginjak usia remaja, Zainab aktif di organisasi Persatuan Kelompok Feminis Mesir yang dibentuk oleh Huda Al-Sharawi tahun 1923. Namun tak lama dia mengundurkan diri dari organisasi itu karena bersebarangan pendapat mengenai perjuangan menuntut kesetaraan.
Dia tidak setuju dengan ide-ide sekular tentang gerakan pembebasan perempuan. Meski demikian, Al-Ghazali tetap menghormati Sharawi dan menyebutnya sebagai seorang wanita yang memiliki komitmen dan keimanan yang baik. Saat usianya 18 tahun (1936), dia mendirikan Asosiasi Wanita Muslim untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan kaum perempuan yang sesuai norma-norma Islam dan ditujukan untuk kepentingan-kepentingan Islam.
Zainab Al-Ghazali selalu berusaha mengedepankan masalah keseimbangan antara hal-hal yang bersifat religius dan modern. Ia mendapat pendidikan agama pertama kali dari cendikiawan muslim terkemuka di Al-Azhar, Syeikh Ali Mahfuz dan Mhammad al-Naggar. Tidak lama setelah ia mendirikan Asosiasi Wanita Muslim, Al-Ghazali langsung melakukan sejumlah aksi dan mendapatkan dukungan dari Menteri Wakaf untuk mendirikan 15 mesjid dan belasan mesjid lainnya yang dibiayai oleh masyarakat umum.
Asosiasi yang didirikannya melahirkan generasi dai-dai wanita yang mempertahankan status perempuan dalam Islam serta meyakini bahwa agama mereka memberikan peluang sebesar-besarnya bagi kaum perempuan untuk memainkan peranan penting di tengah masyarakat, memiliki pekerjaan, masuk ke dunia politik dan bebas mengeluarkan pendapatnya.
Dalam sebuah wawancara tahun 1981, dia mengemukakan bahwa Islam telah memberikan segalanya bagi kaum pria dan wanita. Islam memberikan kebebasan, hak ekonomi, hak politik, hak sosial, maupun hak pribadi kepada kaum Muslimah. Islam memberikan kaum wanita hak-hak tertentu di dalam keluarga yang tidak dimiliki oleh komunitas lain. Para Muslimah harus mempelajari Islam sehingga mereka mengetahui bahwa Islam telah memberikan segalanya kepadanya. Zainab juga meyakini bahwa Islam tidak pernah melarang kaum wanita untuk beraktivitas di masyarakat, bekerja mencari nafkah, masuk ke dunia politik dan mengungkapkan gagasan-gagasannya. Dia percaya Islam mengizinkan mereka untuk memiliki harta benda, berusaha pada bidang perekonomian atau apapun kegiatan demi menunjang perkembangan masyarakat Muslim. Meski begitu, dia berpendapat bahwa tugas utama seorang wanita adalah menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya dan menjadi istri setiap bagi suaminya. Jangan ada apapun yang menghalangi kaum wanita untuk tidak menjalankan tugas yang satu ini.
Al-Ghazali banyak dipengaruhi oleh pendiri Ihkwanul Muslimin, Syekh Hasan al-Banna. Ia memegang teguh pandangannya bahwa tidak ada konflik antara agama dan politik. Al-Ghazali adalah orang yang lantang mempertahankan syariah dan kerap menghadapi masalah dengan rezim Mesir pada saat itu, Presiden Gamal Abdul Naser. Dia mengalami hidup yang penuh siksaan dalam tahanan rezim itu.
Zainab Al-Ghazali adalah satu dari banyak pejuang wanita yang mengukirkan sejarahnya dengan menulis. Menulis memang mampu menghadirkan banyak fenomena. Begitu banyak tokoh mencipta karya, begitu banyak fenomena tercipta. Satu fenomena yang seakan-akan mengguratkan heroisme adalah perlawanan pena seorang tokoh. Pena telah menjadi alat perlawanan untuk menentang kezaliman. Dengan pena, seorang tokoh hendak menombak penguasa yang telah berlaku sewenang-wenang. Pena di tangan seorang tokoh kerap bersuara meskipun harus pula berbuah penjara dan siksaan.
Mungkin kita pernah mendengar kisah seorang Zainab Al-Ghazali (1917–2005). Perempuan Mesir ini merangkai kalimat yang membuat pena bermakna. Banyak referensi untuk mengenal dan mengkaji sosok muslimah ini.
Dari banyak referensi itu, Nafiah Al-Mar’ab (2010) menyusun kalimat mengenang perjuangan pena Zainab Al-Ghazali.
“Suatu ketika ia melihat kondisi pemerintahan Mesir melakukan kezaliman yang luar biasa.
Dilandasi rasa keimanan yang mendalam, Zainab mengirimkan tulisan ke media massa nasional yang isinya mengkritisi kebijakan pemerintah Mesir. Tulisan Zainab serta-merta mendapat respons negatif dari pemerintah Mesir. Maka, pada suatu malam diculiklah Zainab oleh aparat pemerintah Mesir. Zainab lalu dimasukkan ke kamar sempit yang gelap gulita dalam kondisi terikat. Beberapa menit kemudian lampu kamar dinyalakan. Dan ternyata di dalam kamar tersebut telah berkumpul puluhan ekor anjing yang disiapkan untuk menyiksa Zainab. Dengan dibalut pakaian putih, Zainab tak henti-hentinya berdo;
“Ya Allah, sibukkanlah aku dengan mengingati-Mu, sehingga hal yang lain tak terasakan olehku”.
Anjing-anjing tadi pun menyerang Zainab. Menggigit sekujur tubuh Zainab. Ia hanya mampu memejamkan mata, tak sanggup menyaksikan puluhan anjing tadi menggerogoti tubuhnya. Tak berapa lama kemudian, pintu kamar dibuka kembali dan lampu dinyalakan. Subhanallah, dengan izin Allah, Zainab tak mendapati sedikit pun luka di sekujur tubuhnya. Allah Azza wa Jalla telah menunjukkan kekuasaan-Nya pada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Dan Zainab sebagai juru dakwah tulisan telah melakukan hal yang patut menjadi renungan untuk para aktivis dakwah tulisan pada hari ini.”
Tinta-Tinta Dakwah dalam Dwi Suwiknyo dkk., Menulis, Tradisi Intelektual Muslim
Penjara dan siksaan, tidak pernah mematahkan tekadnya bahkan membuatnya lebih kuat. Zainab Al-Ghazali meninggalkan warisan berupa perjuangan membela Islam dan reputasinya sebagai aktivis perempuan yang tanpa ragu melawan sekularisme dan liberalisme dan menggantikannya dengan nilai-nilai Islam.
Saat kerab kudengar pergolakan di Mesir sekarang ini, merindu sosok selayak Zainab Al-Ghazali.
EPILOG
Begitulah mereka telah mengukirkan sejarahnya. Abadi, membawa cerah untuk semesta. Tentang makna diri yang mampu mewarna sekitar, Adalah kita, kitapun mampu mengukir sejarah peradaban. Untuk itu setidaknya ada 2 syarat untuk menjadi wanita pengukir sejarah. Setidaknya ini menurutku :)
Syarat 1:
Harus menjadi pribadi yang mempunyai visi. Visi yang jelas, visi tentang sebuah cita-cita besar, bukan sebat pada seorang pangeran dari negeri dongeng. Visi menjadi ibu generasi, menjadi wanita pengukir sejarah adalah sebuah visi peradaban.
Syarat 2:
Harus aktif mengubah diri dari shalih menjadi muslih. Mengaktualisasikan diri dengan tarbiyah dan peran apa saja yang mampu diambil. Tak kenal jeda, tak ada istilah istirahat, tak mengharap pujian dan selalu meluruskan niat hingga khusnul khotimah. Aamiin.
|
Sebagai Wali Siswa, SIT Bina Ilmi |
Kisah Seuntai Awan Kecil Oleh Subcomandante Marcos
Kutipan dari Kumpulan Tulisan Terpilih "Kata adalah Senjata"
Sengaja kusertakan, semoga menginspirasi
Alkisah, hiduplah sebuah awan kecil.
Ia sangat kecil, nyaris tak sampai seuntai. Dan manakala awan-awan besar menjadikan diri mereka hujan dan mengecat hijau pengunungan, si awan kecil akan terbang mendekat untuk menawarkan jasanya. Tapi mereka mengoloknya, karena ia begitu kecil.........
Mereka mengoloknya menjadi-jadi.
.............
Maka awan kecilpun pergi lebih jauh lagi dan sampailah ketempat yang sangat kering kerontang sampai tak ada satu dahanpun yang tumbuh. Awan kecil berkata:
"Ini lokasi yang sempurna untuk menjadikan diriku hujan, karena tak ada awan lain yang pernah datang kemari."
Si awan keci mengerahkan semua kemampuan untuk menjadikan dirinya hujan, dan akhirnya menelurkan satu tetes kecil............
akhirnya tetes kecil itu menciprat sendiri. Karena padang itu begitu kering, tetesannya menimbulkan kebisingan hebat saat menciprat tepat diatas batu. Iapun membangunkan bumi. Dan bumipun bertanya:
"Ribut-ribut apa itu?"
"Tetes hujan jatuh" jawab batu.
"Tetes hujan? Artinya hujan bakal turun! Lekas bangun! " Bumi mengingatkan semua tetumbuhan yang sembunyi dibawah tanah dari terk matahari.
Maka tumbuh-tumbuhanpun bangun dan mengintip, dan untuk sesaat seisi padang gersang tersaput warna hijau. Awan-awan besarpun melihat hijau itu dari kejauhan dan berkata:
"Lihat ada banyak hijau disana. Ayo kita bikin hujan ditempat itu.
Kita tidak tahu disana begitu hijau !"
.....................
Tak seorangpun ingat, tapi si batu menyimpan rahasia tentang seuntai awan kecil. Waktu berlalu, awan-awan besar pertama itupun lenyap dan tanaman-tanaman pertamapun mati.
Dan batu yang tak pernah mati, memberitahu tanaman-tanaman baru yang terlahir dan awan-awan baru yang tiba, kisah tentang seuntai awan kecil yang mengucurkan setetes hujan.
***
Disampaikan dengan penuh cinta untuk adik-adik seperjuangan pada DT, 30 Januari 2010 di Al-Huda