Rabu, 27 April 2011

Sejenak Belajar Cinta

Pada Kidung Cinta para Mujahid

Lelaki ini adalah Khalifah ke empat, Ali bin Abi Thalib,ra.
Suatu ketika, ia memandang seorang bocah perempuan. Di pelataran rumah seorang sahabatnya. ‘Aisyah binti Thalhah. Nama bocah perempuan itu.

Maka berkelebatlah kenangan. Tentang sahabatnya itu, Thalhah. 
Pada perang Uhud, Thalhah lah lelaki yang mengatakan ;
“Khudz bidaamii hadzal yauum, hattaa tardhaa.”
“ Ya Allah, ambil darahku hari ini sekehendakMu hingga Engkau ridha.”
Tombak, pedang, dan panah yang menyerpih tubuh dibiarkannya, dipeluknya badan sang Nabi seolah tak rela seujung bulu pun terpapas.

Dan ketahuilah, ia juga yang pernah membuat Arsy Allah bergetar dengan perkataannya. Maka Allah menurunkan firmanNya kepada Sang Nabi dalam ayat 53 surat Al Ahzab.
Ini di sebabkan, ketika Thallhah berbincang dengan ‘Aisyah, isteri sang Nabi, yang masih terhitung sepupunya.
Rasulullah datang, dan wajah beliau pias tak nyaman pertanda tak suka. Dengan isyarat, beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam meminta ‘Aisyah masuk ke dalam bilik.
 Wajah Thalhah memerah seketika. Ia undur diri bersama gumam dalam hati;
“Beliau melarangku berbincang dengan ‘Aisyah. Tunggu saja, jika beliau telah diwafatkan Allah, takkan kubiarkan orang lain mendahuluiku melamar ‘Aisyah.”
 Maka langitpun bergetar.

“Dan apabila kalian meminta suatu hajat kepada isteri Nabi itu, maka mintalah pada mereka dari balik hijab. Demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka. Kalian tiada boleh menyakiti Rasulullah dan tidak boleh menikahi isteri-isterinya sesudah wafatnya selama-lamanya.” (QS Al Azhab 53)

Dan saat ayat itu dibacakan padanya, Thalhah menangis. Ia lalu memerdekakan budaknya, menyumbangkan kesepuluh untanya untuk jalan Allah, dan menunaikan haji dengan berjalan kaki sebagai taubat dari ucapannya.

Kelak, tetap dengan penuh cinta dinamainya putri kecil yang disayanginya dengan nama ‘Aisyah. Ya dialah ‘Aisyah binti Thalhah’.
Wanita jelita yang kelak menjadi permata zamannya dengan kecantikan, kecerdasan, dan kecemerlangannya. Persis seperti ‘Aisyah binti Abu Bakr yang pernah dicintai Thalhah.

Cinta tak harus memiliki. Thalhah bin Ubaidillah, salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga sudah mengajarkan ini. 

) 8 (

Lelaki ini adalah otak staretegi perang “Perang Parit”
Di Madinah seorang Muslimah, telah mengambil hatinya. Bukan sebagai kekasih. Tapi sebagai sebuah pilihan untuk pendamping hidup. Pilihan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci. Menikah.  

Iya hanya ingin menikahinya, jalan ibadah menggenapkan setengah agama baginya. Sedangkan Madinah adalah tempat asing untuknya. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang.  

Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah. Berbicara mewakilinya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.

”Subhanallaah,  wal hamdulillaah”, girang Abud Darda’ mendengarnya.
Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di tengah penjuru kota Madinah.

Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni sesuai harapan Salman.

 ”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah.
 ”Menerima anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya.
”Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar dari pada pelamarnya.
Itu mengejutkan dan ironis. Tapi sungguh menurutku juga indah karena satu alasan, reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, dimana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hatinya. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran, bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.

”Allahu Akbar!”, seru Salman.
 ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”

Duhai cinta, Salman Al Farisi sudah meninggalkan jejak agungnya pada kemuliaan. Tak ada istilah pagar makan tanaman disini. Beliau bahkan turut bersuka cita untuk kebahagiaan sahabatnya.

) 8 (

Pada Thalhah.
Pada Salman.
Pada sahabat yang dikasihi Rasulullah nan Agung aku ingin belajar cinta.
Lelaki yang bukan menyerahkan isi hatinya untuk seorang kekasih.
Tetapi untuk satu pilihan, pernikahan.

Aku ingin menjadi seperti Salman, yang memenjarakan keinginannya sehingga saat terbaik dalam dia memilih. Dan ia justru penjarakan lagi keinginannya demi saudaranya tercinta.
Kalau lelaki biasa, pasti akan hancur. Pasti akan binasa dan mendendam. Tapi Salman tahu. Salman faham. Lelaki mu’min tak kan pernah kalah oleh emosi.
Bahkan dengan sangat indah, ia sanggup tepikan rasa hatinya karena saudaranya lebih dipilih wanita yang semula dipilihnya. Salman tahu dan faham, itulah arti persaudaraan.

Aku ingin menjadi Thalhah.
Thalhah yang sadar pada khilafnya.
Bahwa kesucian sudah diukir disetiap desah nafasnya. Tak adalagi rasa yang salah, semua telah ia lebur dalam kemuliaan.

) 8 ( ) 8(

Saat hati merenung resah pada banyaknya fenomena remaja putus cinta dan mengakhirinya dengan kekerdilan jiwa. Lagu cinta yang terbelenggu nafsu, hingga tak menyisakan sedikitpun kemuliaan.  Semoga anak-anakku kelak dapat kembali meneladani kisah cinta para sahabat, belajar cinta pada kidung hidup para mujahid.  Meneladani cinta sejati dari siroh manusia pilihan.

4 komentar:

Unknown mengatakan...

Iya bund, Ironis memang melihat realitas yang ada,padahal telah banyak teladan dari para anbiya.. :)

PATAH HATI, JANGAN TERDAMPAR SEPI, JANGAN TERSUNGKUR MATI..
PATAH HATI, JANGAN LEBURKAN MIMPI, JANGAN MEMAKAN DIRI.. (saujana)

Artineke A. Muhir mengatakan...

Ticka sayang, thanks ya dah baca ini.

Semoga kita bisa ikut mencerahkan sesama dengan indahnya cerita cinta yang berujung pada kemuliaan. Sama, keluarga kami juga suka "saujana".

Bunda Loving mengatakan...

mengharukan sekali kisah cinta ini....semoga ada para remaja yg membaca kisah ini....agar menjadi kan pedoman utk mereka...bahwa cinta itu tidak harus memiliki dan kalaupun harus putus jgnlah sampai mengambil jalan pintas...

Artineke A. Muhir mengatakan...

Bunda Luv...terima kasih sangat sudah ikut membaca ini, telah pula Bunda tinggalkan jejak silaturrahim disini :)
Iya bun, semoga remaja kita kedepan setangguh para mujahid, juga dalam setiap kisah cintanya, sekalipun memilukan tetap menjaga kemuliaan diri dan agama. Aamiin