Jumat, 10 April 2015

SANG MARBOT

MARBOT



Ada dua sahabat yang terpisah cukup lama; Ahmad dan Zaenal. Ahmad ini pintar sekali. Cerdas. Tapi dikisahkan kurang beruntung secara ekonomi. Sedangkan Zaenal adalah sahabat yang biasa-biasa saja. Namun keadaan orang tuanya mendukung karir dan masa depan Zaenal.

Setelah terpisah cukup lama, keduanya bertemu. Bertemu di tempat yang istimewa; di koridor wudhu, koridor toilet sebuah masjid di luar kota.

Adalah Zaenal, sudah menjelma menjadi seorang manager kelas menengah. Necis. Perlente. Tapi tetap menjaga kesalehannya.

Ia punya kebiasaan. Setiap keluar kota, ia sempatkan singgah di masjid di kota yang ia singgahi. Untuk memperbaharui wudhu, dan sujud syukur. Syukur-syukur masih dapat waktu-waktu yang diperbolehkan shalat sunnah, maka ia shalat sunnah juga sebagai tambahan.

Seperti biasa, ia tiba di satu kota. Ia mencari masjid. Ia pinggirin mobilnya, dan bergegas masuk ke masjid yang besar, indah dan mewah yang ia temukan.

Di sanalah ia menemukan Ahmad. Cukup terperangah Zaenal ini. Ia tahu sahabatnya ini meski berasal dari keluarga tak punya, tapi pintarnya minta ampun.

Zaenal tidak menyangka bila berpuluh tahun kemudian ia menemukan Ahmad sebagai marbot masjid!

“Maaf,” katanya menegor sang marbot.
“Kamu Ahmad kan? Ahmad kawan SMP saya dulu?”.

Yang ditegor tidak kalah mengenali. Lalu keduanya berpelukan. “Keren sekali Kamu ya Mas… Manteb…”. Zaenal terlihat masih dalam keadaan memakai dasi. Lengan yang digulungnya untuk persiapan wudhu, menyebabkan jam bermerknya terlihat oleh Ahmad. “Ah, biasa saja…”.

Zaenal menaruh iba. Ahmad dilihatnya sedang memegang kaen pel. Khas marbot sekali. Celana digulung, dan peci
8 didongakkan sehingga jidat hitamnya terlhat jelas.

“Mad… Ini kartu nama saya”.

Ahmad melihat.
“Manager Area”.
Wuah, bener-bener keren.

“Mad, nanti habis saya shalat, kita ngobrol ya. Maaf, di kantor saya ada pekerjaan yang lebih baik dari sekedar marbot di masjid ini. Maaf”.

Ahmad tersenyum. Ia mengangguk.
“Terima kasih ya. Nanti kita ngobrol. Selesaikan saja dulu shalatnya. Saya pun menyelesaikan pekerjaan bersih-bersih dulu. Silahkan ya. Yang nyaman”.

Sambil wudhu, Zaenal tidak habis pikir. Mengapa Ahmad yang pintar kemudian harus terlempar dari kehidupan normal. Ya, meskipun tidak ada yang salah dengan pekerjaan sebagai marbot, tapi marbot, ah, pikirannya tidak mampu membenarkan. Zaenal menyesalkan kondisi negerinya ini yang tidak berpihak kepada orang-orang yang sebenernya memiliki talenta dan kecerdasan, namun miskin.

Air wudhu membasahi wajahnya.

Sekali lagi Zaenal melewati Ahmad yang sedang bebersih. Andai saja Ahmad mengerjakan pekerjaannya ini di perkantoran, maka sebutannya bukan marbot. Melainkan “office boy”.

Tanpa sadar, ada yang shalat di belakang Zaenal.
Sama-sama shalat sunnah agaknya. Ya, Zaenal sudah shalat fardhu di masjid sebelumnya. Zaenal sempat melirik. “Barangkali ini kawannya Ahmad”, gumamnya. Zaenal menyelesaikan doanya secara singkat. Ia ingin segera bicara dengan Ahmad.

“Pak,” tiba-tiba anak muda yang shalat di belakangnya menegur.

“Iya Mas?”

“Pak, Bapak kenal emangnya sama Haji Ahmad?”

“Haji Ahmad?”

“Ya, Haji Ahmad.”

“Haji Ahmad yang mana?”

“Itu, yang barusan ngobrol sama Bapak"

“Oh… Ahmad. Iya. Kenal. Kawan saya dulu di SMP. Emangnya udah haji dia?”

“Dari dulu udah haji Pak. Dari sebelumnya bangun ini masjid ini”.

Kalimat itu begitu datar.
Tapi cukup menampar hatinya Zaenal. Dari dulu sudah haji. Dari sebelumnya bangun masjid ini.

Anak muda ini kemudian menambahkan, “Beliau orang hebat Pak. Tawadhu’. Saya lah yang marbot asli masjid ini. Saya karyawannya beliau. Beliau yang bangun masjid ini Pak. Di atas tanah wakafnya sendiri. Beliau bangun sendiri masjid ini, sebagai masjid transit mereka yang mau shalat. Bapak lihat hotel tingkat tiga di sebelah masjid ini. Itu hotel nya beliau. Tapi beliau lebih suka menghabiskan waktunya di sini. Bahkan salah satu kesukaannya, aneh. Yaitu senangnya menggantikan posisi saya.
Karena katanya suara saya bagus, kadang saya disuruh mengaji saja dan adzan”.

Wuah, entahlah apa yang ada di hati dan di pikirannya Zaenal.

Bagaimana tawadhu' nya temannya yang hebat itu.

Ahmad, Ahmad bagaimana aku bisa ketemu dengan kamu sesudah sholat ini, tidak tahu aku, kemana harus kusembunyikan wajah necisku


Edisi Dhuha
Cerita Hikmah dari WA

Tidak ada komentar: